Minggu, 01 April 2012


KELOMPOK 4

Akuntansi Syariah dalam Al-Quran dan As-Sunnah
Makalah
DI ajukan untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Pengantar Akuntansi Syariah
logo iain fixx embosDosen Pengampu : 

 

 Disusun Oleh:  Kelompok 2 Semester 2
·         Alfiyah Agustiyanti
·         Endang susmawati
·         Lusi Rosma Hidayah
·         Suci Wirastami

JURUSAN  MUAMALAH  EKONOMI  PERBANKAN ISLAM  FAKULTAS  SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH  NURJATI  CIREBON
2012






A.     PENDAHULUN
Akuntansi Syariah adalah aktifitas mengumpulkan, menganalisis, menyajikan dalam bentuk angka, mengklasifikasikan meringkas dan melaporkan transaksi perusahaan dalam bentuk informasi keuangan berdasarkan prinsip-prinsip islam yaitu jujur amamah, bertanggung jawab dan sebagainya. Akutansi sebenarnya merupakan bagian dari mu’amalah dalam kajian Islam. Dalam perkembangannya  karena akutansi merupakan kegiatan awamalah maka kebijakannya diserahkan kepada manusia.
Dalam Al-Qur’an kajian tentang akutansi syariah di jelaskan dalam surat Al-Baqoroh ayat 282 yang menggambarkan angka yang memuat tentang akutansi syariah tapi juga terdapat dalam sumber hukum islam seperti Hadis, Ijma dan Qiyas.
 Realitas Akuntansi Syari'ah adalah tercermin dalam akuntansi zakat.
Akuntansi zakat menunjukkan proses di mana kekayaan diperoleh secara halal oleh perusahaan. Ini merupakan salah satu contoh dari turunan hisab yang merupakan bidang akuntansi. Disamping itu ternyata melalui Al Qur'an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi adalah penekanan pertanggungjawaban atau accountability yang tujuanya menjaga keadilan dan kebenaran.
         Jika kita mempelajari secara lebih detail tentang akutansi syariah dalam islam tanpa disadari Penciptaan alam semesta juga menggunakan konsep akutansi syariah.

B.     AKUNTANSI SYARI’AH DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS
1.     Akuntansi Syari’ah Dalam Pandangan Al-Qur’an
   Akuntansi sebernarnya merupakan domain muamalah dalam kajian Islam. Artinya diserahkan kepada kemampuan akal pikiran manusia untuk mengelola atau mengembangkannya. Namun akuntansi ini merupakan permasalahan yang penting, maka Allah SWT memberikannya tempat di dalam kitab suci Al-Qur’an. Ayat yang menerangkan tentang akuntansi terdapat dalam Surah Al-Baqarah Ayat 282, yang mana artinya :
“ hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan, hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan, janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya), atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan, persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (tulislah muamalah itu) kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menulisnya. Dan, persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan kepada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. “
Penempatan ayat di atas juga sangat unik dan relevan dengan sifat akuntansi itu. Ia di tempatkan dalam Surat Sapi Betina sebagai lambang komoditi ekonomi. Ia di tempatkan dalam Surat ke-2 yang dapat di analogkan dengan “double entry”, di tempatkan di Ayat 282 yang menggambarkan angka keseimbangan atau neraca.[1]
Dari ayat Al Baqarah di atas kita bisa mengambil tiga point penting yaitu pertanggung jawaban, keadilan, dan kebenaran. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang proses pertanggungjawaban manusia sebagai pelaku amanah Allah dimuka bumi. Implikasi dalam  bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dalam praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban atas apa yang telah diamanatkan dan diperbuat  kepada pihak-pihak yang terkait.
Prinsip keadilan, jika ditafsirkan lebih lanjut, surat Al-Baqarah : 282 mengandung prinsip keadilan dalam melakukan suatu transaksi. Prinsip keadilan ini tidak saja merupakan nilai penting dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai yang melekat dalam fitrah manusia. Hal ini berarti bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki kapasitas dan energi untuk berbuat adil dalam setiap aspek kehidupannya.
Dalam konteks akuntansi, menegaskan bahwa kata adil dalam ayat 282 surat Al-Baqarah, secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahan harus dicatat dengan benar. Misalnya, apabila nilai transaksi adalah sebesar Rp. 100 juta, maka akuntansi (perusahan) harus mencatat dengan jumlah yang sama, yaitu Rp. 100 juta. Dengan kata lain tidak ada pemalsuan atau penggelapan dalam praktik akuntansi perusahaaan.
Prinsip kebenaran, prinsip ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip keadilan. Sebagai contoh, dalam akuntansi kita akan selalu dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran laporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai kebenaran. Kebenaran ini yang nantinya akan dapat menciptakan nilai keadilan dalam tansaksi-transaksi ekonomi.
    Standar akuntansi yang diterima umum dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan  dengan syariah Islam. Transaksi yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah, harus dihindari, sebab setiap aktivitas usaha harus dinilai halal-haramnya.
   Ayat lain yang menunjukkan tentang akuntansi ialah dalam Al-Qur’an Surah Asy-Syu’ara ayat 182-183 yang artinya :
“ Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan. Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan memanipulasi laporan demi kepentingannya. Oleh karena itu di butuhkan Akuntan Independen.
   Akuntan Independen adalah orang yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya.
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah kita melihat bahwa tekanan Islam dalam kewajiban melakukan pecatatan adalah:[2]
a.       Menjadi bukti dilakukannya sebuah transaksi yang menjadi dasar nantinya dalam menyelesaikan persoalan selanjutnya.
b.      Menjaga agar tidak terjadinya manipulasi atau penipuan baik dalam transaksi maupun hasil dari transaksi itu.
c.       Bahkan jika dikaji sistem jagad dan manajemen alam ini, ternyata peran atau fungsi akuntansi itu sangat besar. Bahkan Allah memiliki akuntan Malaikat yang sangat canggih yaitu Rakib dan Atid, yang menuliskan atau menjurnal transaksi yang dilakukan oleh manusia, yang menghasilkan buku atau neraca yang nanti akan dilaporkan kepada kita di akhirat kelak.
   Laporan ini didukung oleh bukti, di mana satu pun tidak akan ada transaksi yang dilupakkan, walaupun transaksi itu sebesar zarrah seperti terdapat dalam Surat Al-Zalzalah Ayat 7-8. Bahkan pengaturan dalam melakukan muamalah dengan non-muslim juga di atur di dalam Al-Qur’an.
      Al-Qur’an membagi orang kafir, yaitu:[3]
a.       Kafir dimmy dan mu’ahad, yaitu kafir yang mengikat perjanjian, sehingga Allah SWT memerintahkan untuk bergaul dengan mereka.
b.      Kafir musta’mam, yaitu kafir yang dianggap tidak membahayakan, sehingga darah dan harta mereka tidak boleh diganggu selama mereka masih berpegang teguh pada perjanjian.
c.       Kafir harby, yaitu kafir yang oleh Allah SWT masih tetap di berikan hak-hak yang harus di hormati atas harkat dan martabat manusia.
Islam melalui Al Qur'an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para pelaku transaksi atau pembuat laporan akuntansi adalah menekankan pada konsep pertanggungjawaban atau accountability, sebagai ditegaskan dalam surat Al Baqaroh ayat 282. Disamping itu, Akuntansi Syari'ah harus berorietasi sosial. Akuntansi Syari'ah tidak hanya sebagai alat ukur untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi sebagai suatu metode untuk menjelaskan fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam.
Dengan demikian, pengembangan akuntansi Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam praktik akuntansi. Secara garis besar, bagaimana nilai-nilai kebenaran membentuk akuntansi syariah dapat diterangkan sebagai berikut:
a.       Akuntan muslim harus meyakini bahwa Islam sebagai jalan hidupnya (QS. 3 : 85).
b.      Akuntan harus memiliki sifat yang baik, jujur, adil, dan dapat dipercaya (Q.S.An-Nisa : 135).
c.       Akuntan bertanggung jawab untuk melaporkan semua transaksi yang terjadi dengan benar, jujur serta teliti, sesuai dengan syariah Islam
 (Q.S.Al-Baqarah : 7–8).
d.  Dalam penilaian kekayaan (aset), dapat digunakan harga pasar atau harga  pokok. Kebenaran nilaianya harus dipersaksikan oleh pihak yang bertanggung jawab dan adil (Al-Baqarah : 282).
     
2.       Akuntansi Syari’ah dalam Hadits
Hadits yang berhubungan dengan akuntansi syari’ah adalah
“Yang pertama dihisab di hari kiamat nanti ialah shalat. Jika shalat itu dikerjakkan dengan benar, benarlah semua perbuatannya. Tetapi, jika shalat itu rusak, rusaklah semua amal perbuatannya. “ (HR Thabrani).
Hadits lain yang berhubungan dengan akuntansi ialah:
“Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum Muslimin kecuali perdamaian yang mengharamakan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali berhubungan dengan syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. “[4]
  Karena akuntansi ini sifatnya berupa urusan muamalah, maka pengembangannya diserahkan kepada kebijaksanaan manusia. Al-Qur’an dan Hadits hanya membekalinya dengan beberapa sistem nilai, seperti landasan etika, moral, kebenaran, keadilan, kejujuran, terpercaya, bertanggung jawab, dan lain sebagainya.
   Selain Al-Qur’an dan Hadits sebagai landasan dasar akuntansi syari’ah, kaidah fiqih dan ijma ulama juga bisa menjadi acuan dasar akuntansi syari’ah, sebagai berikut:
Dalam kaidah fqih sebagai landasan akuntansi syari’ah ialah berdasarkan pada:
Pada dasarnya, segala bentuk muamalah boleh di lakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
“ Di mana terdapat kemaslahatan, di situ terdapat hukum Allah.”
   Sedangkan landasan akuntansi menurut ijma ulam adalah :
Umar Ibnul Khaththab r.a. berkata, “ Hisablah dirimu sendiri sebelum di hisab, timbanglah amalanmu sebelum kamu di timbang, dan bersiaplah kamu untuk menghadapi hari di mana semua amal perbuatan di beberkan.”[5]
Sedangkan menurut Imam Syafi’I, “ Siapa yang mempelajari hisab atau perhitungan, luaslah pikirannya.”
      Ibnu Abidin berkata bahwa, “ Catatan atau pembukuan seorang agen (makelar) dan kasir bisa menjadi bukti berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Apabila pembeli atau kasir maupun makelar itu tidak menggunakan catatan khusus, maka bisa merugikan orang lain, karena biasanya barang-barang dagangan tersebut tidak terlihat, seperti halnya barang-barang yang di kirim ke koneksi-koneksi yang jauh. Jadi, dalam keadaan seperti ini, biasanya mereka berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang tertulis di dalam daftar-daftar atau surat-surat yang di jadikan pegangan ketika terjadi kerugian.”
Jadi, landasan-landasan yang bisa kita gunakan dalam akuntansi adalah berdasarkan pada Al-Qur’an, hadits, kaidah fiqih, dan ijma’ ulama.

C.    KESIMPULAN
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, kaidah fiqih, dan Ijma (kespakatan para ulama). Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

Dengan demikian, pengembangan akuntansi Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam praktik akuntansi. Secara garis besar, bagaimana nilai-nilai kebenaran membentuk akuntansi syariah dapat diterangkan sebagai berikut.
a.       Akuntan muslim harus meyakini bahwa Islam sebagai jalan hidupnya (QS. 3 :85).
b.      Akuntan harus memiliki sifat yang baik, jujur, adil, dan dapat dipercaya (Q.S.An-Nisa:135).
c.       Akuntan bertanggung jawab melaporkan semua transaksi yang terjadi dengan benar, jujur serta teliti, sesuai dengan syariah Islam
 (Q.S.Al-Baqarah:7–8).
d.  Dalam penilaian kekayaan (aset), dapat digunakan harga pasar atau harga  pokok. Kebenaran nilainya harus dipersaksikan pihak yang bertanggung jawab dan adil (Al-Baqarah : 282).
Karena akuntansi ini sifatnya urusan muamalah, maka pengembangannya diserahkan kepada kebijaksanaan manusia. Al-Qur’an dan Hadits hanya membekalinya dengan beberapa sistem nilai, seperti landasan etika, moral, kebenaran, keadilan, kejujuran, terpercaya, bertanggung jawab, dan lain sebagainya. Selain Al-Qur’an dan Hadits sebagai landasan dasar akuntansi syari’ah, kaidah fiqih dan ijma ulama juga bisa menjadi acuan dasar akuntansi syari’ah.
            Ibnu Abidin berkata bahwa, “ Catatan atau pembukuan seorang agen (makelar) dan kasir bisa menjadi bukti berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Apabila pembeli atau kasir maupun makelar itu tidak menggunakan catatan khusus, maka bisa merugikan orang lain, karena biasanya barang-barang dagangan tersebut tidak terlihat, seperti halnya barang-barang yang di kirim ke koneksi-koneksi yang jauh. Jadi, dalam keadaan seperti ini, biasanya mereka berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang tertulis di dalam daftar-daftar atau surat-surat yang di jadikan pegangan ketika terjadi kerugian.”







DAFTAR  PUSTAKA
Syafri Harahap, Sofyan.  2004.  Akuntansi Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Wasilah, Sri Nurhayati. 2011. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Palembang 4.
Sula, Muhammad Syakir, aaij, fiis. 2004.  Asuransi Syariah. Jakarta: Gema Insani.
                                                                               


[1] Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 141.
[2] Ibid., hlm. 142.
[3]  Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Palembang 4, 2011), Ed. 2,  hlm. 37.
[4] Muhammad Syakir Sula, aaij, fiis, Asuransi Syariah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 388.
[5] Ibid.

1 komentar:

  1. Sebagai referensi, telah hadir buku "Al-Qur'an & Akuntansi: Menggugah pikiran Mengetuk relung qalbu" yang menjelaskan secara obyektif hubungan antara Al-Qur'an dan akuntansi. Dengan bukti tersebut maka menjadi jelas bahwa sebenarnya awal pengembangan akuntansi dari umat Islam yang mengamalkan ayat-ayat kebenaran yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur'an. Bagian lain buku tersebut juga menjelaskan tentang perjalanan panjangan akuntansi selama ini, dan penggunaan QS. Al-Baqarah [2]: 282 untuk mengkritisi pengembangan prinsip/konsep dasar akuntansi yang berlaku di era kapitalis ini.

    BalasHapus