KELOMPOK
3
KAIDAH-KAIDAH DAN ISTILAH-ISTILAH
AKUNTANSI AYARIAH
Disusun
untuk memenuhi Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah
Pengantar
Akuntansi Syariah Pada Jurusan Muamalat-Ekonomi
Perbankan
Islam Fakultas Syariah
Disusun
Oleh Kelompok: 3 MEPI 6/SMT 2
v Asiti
v Annisa Mufidah
v Diah Maudiah
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2012
.
|
|||
A.
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Kaidah dan istilah akuntansi dalam konvensional tidak umum lagi untuk
sebagian orang, namun bagaimana dalam syariah islam?, kaidah dalam akuntansi
syariah di gunakan untuk menemukan hukum-hukum yang berpegang Nas yaitu Al-baqarah
282, akuntansi islam sudah ada sejak
zaman Rosulullah untuk perhitungan zakat
dan instalansi pemerintahan dan lain-lain, di akuntansi konvensional sendiri mengklaim lukas paciolo dari italia
sebagai bapak akuntansi yang pertama memukakan metode akuntansi. Tentunya walau
demikian pastilah terdapat perbedaan baik dalam kaidah maupun istilahnya.
1.2
RUMUSAN MASALAH
a) Apa pengertian kaidah Akuntasai Syariah
itu?
b) Bagaimana ciri-ciri Akuntasi Syariah?
c) Bagaimana pembagian Kaidah-kaidah
akuntasi?
d) Apa Persamaan dan Perbedaan Kaidah
Akuntasi Islam dengan Kaidah Konvensonal ?
e) Apa istilah-istilah yang di gunakan
dalam Akuntasi Islam?
1.3
PEMBAHASAN MASALAH
B.
Pengertian “Kaidah” Menurut Ushul Fiqih Islam
1.
Arti Kata Kaidah Menurut Ilmu Ushul Fiqih
Menurut
ulama ushul fiqih, “kaidah” ialah persoalan-persoalan umum yang semua unsurnya
mengandung hukum-hukum bagi bagian-bagian persoalan yang banyak. Kaidah-kaidah
ini digunakan untuk memahami dan menyimpulkan hukum-hukum syar’i praktis dari
dalil-dalil yang terperinci.[1]
Sebagai contoh, kaidah al-Amru lil-Ijabi artinya bahwa “perintah itu wajib”. Kaidah ini
digunakan untuk menentukan hukum-hukum syar’i praktis yang wajib, seperti pada
firman Allah yang artinya “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”. (al-Baqarah:278).
Disini,
Allah memerintahkan kepada kita untuk meninggalkan riba. Perintah ini adalah
suatu hukum, bahwa meninggalkan riba itu adalah wajib. Begitu juga dengan
kaidah an-Nahyu lit-Tahrim (larangan
itu adalah untuk pengharaman) dalam menentukan hukum syar’i praktis terhadap
persoalan-persoalan yang dilarang. Seperti firman Allah yang arinya: “.... dan janganlah ia mengurangi sedikit pun
dari utangnya.......” (al-Baqarah:282).
Disini,
Allah melarang kita mengurangi sesuatu pada penghitungan. Ini berarti bahwa
mengurangi hak orang lain itu dilarang. Dalam meletakan kaidah-kaidah itu
dengan metode istiqra’i (penyimpulan),
yaitu penyimpulan hukum-hukum syar’i dan demikian pula dengan illat-illat hukum serta hikmah
pensyariatannya. Para ulama ushul selalu menggunakan uslub-uslub bahasa Arab
dan keterangan-keterangan syar’i (hukum Islam).
Diantara
kaidah-kaidah global yang penting dalam fiqih Islam adalah:[2]
1. Perintah itu menunjukan kepada wajib
2. Larangan itu menunjukan kepada haram
3. Al-am
ialah yang tersusun semua unsurnya
secara pasti
4. Mutlak adalah menunjukan atas unsur yang
umum tanpa ikatan
Sementara
itu, kaidah-kaidah kulli (global)
yang dipakai oleh ulama fiqih adalah kaidah-kaidah selektif yang akan
diterapkan pada bagian-bagian dalil kulli
(global) untuk mencapai hukum syar’i praktis yang dapat digunakan di
bidang-bidang berikut:[3]
1. Untuk memahami nash-nash syar’i dalam
mengetahui hukum-hukum yang dikandungnya, dan juga untuk mengetahui
rahasia-rahasia yang masih tersembunyi didalamnya serta apa-apa yang dibatalkan
ketika terjadi ta’arud (kintradiksi)
antara satu nash dan nash yang lain.
2. Untuk menarik hukum dengan qiyas,
istihsan atau yang lainnya ketika tidak ada nash yang menjelaskan hukumnya.
3. Untuk memahami apa-apa yang telah
disimpulkan oleh para imam mazhab yang empat dan para mujtahid yang lain,
dengan pemahaman yang benar serta membandingkan antara mazhab-mazhab mereka
dalam beberapa masalah yang berbeda.
Kaidah-kaidah
ushul fiqih yaitu sebagai alat atau sarana yang dapat membantu ahli fiqih atau
orang yang menetapkan hukum untuk memelihara kemaslahatan umum dan konsisten
dengan batas-batas ajaran Ilahi dalam menetapkan hukum. Juga dapat membantu
seorang hakim untuk berlaku adil di pengadilan dan menetapkan hukum-hukum
secara benar dengan tidak terbatas pada nash-nash dan hukum-hukum syar’i.[4]
C.
Pengertian Kaidah Akuntansi Dalam Konsep Islam
1. Pengertian
Kidah Akuntasi dalam Konsep Islam
Kaidah
akuntansi dalam konsep Islam dapat didefinisikan sebagai dasar-dasar hukum yang
berlaku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber hukum Islam dan
dipergunakan sebagai aturan oleh seorang akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam
pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan maupun penjelasan. Juga untuk
menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa, apakah
peristiwa itu sesuai dengan hukum-hukum syariat Islam atau tidak.[5]
Kaidah-kaidah
tersebut juga dianggap sebagai ukuran atau standar yang bisa membantu dalam
memahami suatu kejadian atau peristiwa yang telah terjadi. Kaidah syumuliah (universalitas) juga dapat
membantu pencatatan dalam memastikan terjadinya setiap peristiwa keuangan dan
ekonomi.
Dalil-dalil
kaidah akuntansi diambilkan dari sumber-sumber fiqih Islam, yaitu sebagai
berikut:
a. Al-Qur’an, yaitu kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk dijadikan undang-undang yang mengatur
manusia disegala bidang.
b. Sunnah Nabawiyyah, yaitu apa-apa yang
berasal dari Rasulullah saw baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang
dianggap sebagai uswah dan panutan.
c. Ijma, yaitu yang berasal dari
kesepakatan para ulama dan imam-imam mujtahid yang terpercaya pada masa setelah
wafatnya Rasulullah saw.
d. Qiyas, yaitu persamaan suatu peristiwa
tertentu yang tidak mempunyai nash, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits Nabi
serta ijtihad para ulama dengan peristiwa lain yang memiliki kesamaan illat (alasan hukum)
e. Uruf
(alat kebiasaan) yaitu apa-apa yang telah dikenal dan terbiasa dikalangan
masyarakat, dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam[6].
2. Ciri-Ciri Kaidah Akuntansi dalam Konsep Islam
Kaidah
akuntansi dalam konsep Islam mempunyai keistimewaan khusus, seperti diterangkan
berikut ini:[7]
a.
Keistimewaan dari segi akidah dan akhlak
Islam
merupakan agama kesatuan antara ibadah dan muamalah, diantara akidah dan
syariat dan antara dunia dan akhirat. Karena itu, didalam Islam seorang akuntan
harus memiliki iman yang kuat karena semua transaksi dan perputaran uang yang
dicatatnya itu, baik pemasukan mauoun pengeluaran dan juga laporan-laporan
keuangan yang diberikannya kepada pelaku-pelaku transaksi, itu adalah milik
Allah SWT. Ini ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya yang artinya: “.....dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu
yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.....” (al-Hadiid:7)
Jadi,
seorang akuntan ketika membuat catatan, penelitian atau membuat laporan harus
memastikan bahwa perputaran uang itu berjalan sesuai dengan hukum Allah. Ia
tidak boleh menuruti saja keinginan si pemilik harta, yang bisa menimbulkan
kemarahan Allah karena memalsukan keterangan atau hanya untuk meraih keuntungan
duniawi. Seorang akuntan juga harus percaya bahwa ia akan dibangkitkan di Hari
Kiamat untuk diminta keterangan serta mempertanggungjawabkan amal perbuatannya
di hadapan Allah dan sekkaligus menerima balasannya.
Keistimewaan
ini telah terwujud pada periode pertama Islam, seperti kesadaran umat Islam
untuk mengeluarkan zakat serta pembukuan kegiatan baitulmal. Semua ini terwujud
karena pimpinan umat Islam waktu itu percaya bahwa seorang yang alim adalah
orang yang memiliki dua sifat yaitu amanah dan kuat. Salah satu sebab gagalnya
salah satu akuntan memberi informasi-informasi yang jujur bagi administrasi
keuangan adalah lemahnya aspek akidah dan akhlak para akuntan itu.
b.
Keistimewaan karena mengombinasikan antara
subjek-subjek yang permanen (tetap) dan yang tathawwur (yang berkembang)
Kaidah-kaidah
dasar akuntansi yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak bisa diubah
atau diganti sebab tidak kontradiktif dengan waktu maupun tempat bahkan juga
dengan situasi apapun. Hanya saja, aturan rinci dan prosedurnya bisa saja
mengalami perubahan dan berkembang sesuai dengan penggantian waktu dan tempat.
Contohnya, Allah menyuruh kita untuk membukukan semua transaksi dan diperkuat
dengan beberapa orang saksi. Maka kaidahnya akan berbunyi “al- kitabah al-muqtarinah bisy-syuhud” (pembukuan yang disertai
saksi-saksi). Tetapi selanjutnya Islam memberikan kebabasan bagi para mujtahid
untuk menentukan cara-cara pembukuan dan persaksian serta peraturan-peraturan
yang bisa berbeda, tergantung pada waktu dan tempat.
Dengan
demikian ijtihad para akuntan muslim berada dalam batas penyusunan
aturan-aturan akuntansi, penentuan metode-metode dan penetapan
prosedur-prosedur yang semuanya harus didasarkan pada kaidah-kaidah yang telah
diistimbatkan dari sumber-sumber fiqih Islam yang bersifat kinstan dan stabil.
Dengan dasar ini, tampak bahwa aspek-aspek implementasi dari konsep akuntansi
dalam Islam mempunyai keistimewaan yaitu fleksibel dan dinamis.
c.
Keistimewaan bentuknya yangg sistematis dan
universal
Islam
secara konseptual merupakan sistem kerja dan aturan hidup yang komplet dan
sistematis. Menolak satu bagiannya berarti menolak keseluruhan Islam. Ementara
konsep akuntansi Islam merupakan bagian dari konsep ekonomi Islam, dan konsep
ekonomi Islam itu merupakan bagian dari konsep Islam secara keseluruhan.
Aturan-aturan
akuntansi dalam konsep Islam saling melengkapi dalam upayanya mencapai tujuan.
Unsur-unsur ini harus diimplementasikan secara bersama dan tidak boleh hanya
menerapkan satu bagian atau beberapa bagian dengan meninggalkan unsur-unsur
lain. Beberapa kaidah dari konsep akuntansi konvensional telah gagal
diimplementasikan pada lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan Islam. Akibatnya,
banyak karyawan lembaga itu berada dalam kesulitan besar karena ada kontradiksi
dengan kaidah-kaidah hukum Islam, serta tidak ada keseragaman dengan konsep
islam. Nilai-nilai dan tatakrama masyarakat islami.
d.
Keistimewaan dengan Unsur Logika (Mantik)
Kita
tahu bahwa kebanyakan keidah muamalah keuangan dan non keuangan adalah mantik
(rasional) yang sesuai dengan aksioma akal, seperti pada kaidah wajib mencatat
muamalah, kesaksian terhadap pencatatan dan generalisasi pencatatan semua aspek
muamalah. Tidak mungkin ada satu undang-undang akuntansi pun tanpa logika.
Inilah sebab adanya beberapa kesamaan antara konsep kaidah-kaidah akuntansi
islami dan konsep kaidah-kaidah akuntansi konvensional. Juga tidak satupun
halangan syar’i untuk menggunakan pengalaman masyarakat selama pengalaman
tersebut sesuai dan sejalan dengan syariat islam. Jadi jelaslah bahwa konsep
akuntansi islam memiliki nilai-nilai spesifik, antara lain nilai syar’i,
stabil, permanen, objektif, unifersal, sesuai untuk diterapkan dan rasional.
D.)
Sifat-Sifat Kaidah Akuntansi Menurut Konsep Islam
1.
Kaidah Independensi jaminan Keuangan (financial)
Perusahaan
kendaknya mempunyai sifat yang jelas dan terpisah dari si pemilik perusahaan
yang di sebut juga “kesatuan Ekonomi (Al-wihdah
al-iqtishadiah)”.[8]
Walaupun banyak perbedaan mengenai kaidah ini oleh sebagian ulama fiqh, amun
Hukum nash al-qur’an maupun sunnah tidaklah mempersulit kita malah sebaliknya
memudahkan kita, penerapan jaminan
keuangan oleh perusahaan yang di lakukan tergantung pada perusahaan tersendiri
seperti adanya asuransi kesehatan, asuransi jiwa, jaminan mengeluarkan zakat
dan lainnya yang berkonotasi pada jaminan keuangan. Jaminan keuangan sendiri
terdapat ketentuan yaitu:
a. Pada perusahaan perorangan, kaidah yang
mengkaitkan jaminan keuangan bagi si pemegang dengan jaminan keuangan bagi
perusahaan itu dapat di terapkan ketika menutupi kewajiban-kewjiban terhadap
orang lain, atau ketika menghitung zakat pada akhir tahun.[9]
Seperti kita berinvestasi berarti kita mengeluarkan suatu jaminan untuk hak-hak
orang lain yaitu zakat.
b. Untuk perusahaan-perusahaan
non-perorangan, suatu perusahaan memiliki karakteristik tertentu yaitu selagi
tidak ada hukum syara’i yang melarangnya.[10]dalam
perdagangan, islam mengajarkan etika kita dalam bertransaksi antara penjual dan
pembeli salah satunya yang mana kesepakatan keduanya di perioritaskan agar
mencapai kemaslahatan.
firman Alloh yang artinya :”…kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu….”(an-Nisaa:29).
juga
hadit rosulullah yang artinya :” mukmin
itu (dalam urusan mereka) menurut syarat yang telah mereka sepakati, kecuali
satu syarat, yaitu menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”.
c. Untuk urusan wakaf dan otoritas
(kekuasaan untuk bertindak), dalam
organisasi pemimpin di anggap sebagai wakil dari pemilik yang memiliki
pertanggung jawaban sesuai aturan yanlg berlaku dengan menerapkan jaminan
financial. [11]
dalam bisnis otoritas bagi pemimpin sangant penting untuk masalah wakof dan
seorang akuntasi yang membantu membatasi dan menghitungnya.
2.
Kaidah kesinambungan aktivitas
Untuk
mejamin keseinambungan (kontinuitas)
aktivitas suatu perusahaan dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
yang buruk di masa mendatang.[12]
Keseinambungan pada kehidupan yang di anjurkan dalam islam memberikan gambaran
dalam sistem mudharabah pada perusahaan untuk menantisipasi kesalahan-kesalahan
yang mungkin terjadi dan bisa
mengatasinya agar tidak berdampak buruk pada masa mendatang. Misalnya suatu
akuntan akan memperkirakan keuntungan
perkiraan yang tidak pasti(zhanni)
sampai haul ayang mana perusahaan wajib member zakat 2.5% yang itu juga di sepakati para ulama.
3.
Kaidah Hauliah (pentahunan) Anggaran
Secara
bahasa, haul berarti satu tahun sempurna, jamaknya ialah ahwal. Dalam konteks akutansi islam yang
di maksud haul ialah membagi perputaran perusahaan dalam waktu tertentu,
perhitungan haul sangat di perlukan untuk menentukan dan, menghitung jumlah
zakat mal.[13]
Para ulama telah menerapkam kaidah haul untuk
persiapan perhitungan akhir dan pusat keuangan perdagangan, dan
perusahaan-perusahaan untuk perhitungan zakat. Yang mana dalam kaidah ini kita
akan mengetahui input dan output di suatu perusahaan, mengetahui keuangan,
mengetahui kelebihan dan kekurangan anggaran dan lain-lain.
4.
Kaidah pembukuan lagsung dan lengkap dengan Tanggal,
Bulan dan Tahun.
Kaidah
ini telah di terapkan pada kantor pemerintahan pertama islam, yang di dasarkan
firman alloh Q.S Al-baqarah 282 pada
lafaz “uktubuhu” yang menunjukan pengertian
pembukuan, dan lafaz “ila ajalin musamma”
yang menunjukkan suatu tanggal tertentu.[14]
An-Nuwairi berkata: “ suatu yang pertama kali di kerjakan oleh seorang juru
tulis ialah membuat catatan berupa daftar atau angenda harian untuk kegiatan
hariannya, kemudian menuliskan di sana : hari, tanggal, bulan, dan tahun
pemakaian dan menuliskan semua perubahan yang terjadi di kantornya, seperti
jumlah barang yang masuk, keluar, di pinjamkan/disewakan, dibeli, dijual, yang
di tukarkan dan lain sebagainya. Juga, perubahan dalam jumlah ongkos/sewa atau
jaminan kerusakan serta urain-uraian lainnya.
Dari
uraian di atas pentingnya sistem pencataan yang benar dalam kegiatan
operasional yang di tulis sedetail mungkin untuk membantu dan mempermudah
perusahaan dalam kegiatan operasionalnya sehingga mengetahui keadaan naik
atupun turun, rugi atau laba dan lain-lain. Aplikasi kaidah ini bisa kita lihat
pada pembukuan dalam baitulmal.
5.
Kaidah pembukuan yang di serta penjelasan atau
penyaksian Objek.
Kaidah
ini atas dasar Q.S Al-baqarah 282, ayat yang menekankan pada fungsi aspek
legalitas religi dari kesaksian dalam pencataan hutang dan piutang. Dalam fiqh
islam kaidah ini di sebut pencataan dengan kesaksian. Kaidah ini bisa di tunjukkan untuk baitulmal
dengan tujuan :
a. Media pencatatan dalam surat-surat atau
faktur baitulmal;
b. Media memindahkan informasi dari suatu
tempat ke tempat lain;
c. Media untuk kebebasan tanggungan orang
bertansaksi dengan baitulmal.
Seperti gambaran pada umumnya
seorang pedagang dan pembeli dalam transaksi utang-piutang tidak di dokumentasi
atau adanya saksi maka pastinya akan merugikan khususnya pedagang manakala
seorang yang meminjam lupa, apalagi dalam perusahaan besar kaidah ini sangat di
butuhkan. Dalam dokumen sendiri harus mencatat sedetail mungkin dan
pentingnya seorang saksi agar tidak
terjadi mudharat. Tujuan kaidah ini agar terjaga hak-hak orang lain. Di antara
dokumen penting yang terdapat di baitulmal yaitu :[15]
a. Asy-syahid
(keterangan), yaitu suatu dokumen intern yang berfungsi untuk memawa data-data/informasi
dari tempat ke tempat lain dalam baitulmal.
b. Risalah
humul (surat bawaan), yaitu surat dokumen
yang membawa data-data atau informasi dari suatu kantor ke kantor lain.
c. Al-bara-ah
(bukti bebas atau lunas) yaitu sebuah
dokumen yang di berikan kepada seseorang yang telah memembayar atau menyerahkan
sesuatu kepada baitulmal, naik berupa uang maupun barang.
6.
Kaidah Pertambahan Laba dalam Produksi, serta
Keberadaannya dalam Jual Beli
Didalam fikih Islam, laba itu dianggap
sebagai perkembangan pada harta pokok yang terjadi dalam masa haul, baik setelah harta itu diubah dari
barang menjadi uang maupun belum berubah. Artinya baik harta itu telah
dicairkan dengan jual beli dari barang ke uang atau belum, maupun harta itu
masih tetap dalam bentuk barang karena belum terjadi proses jual beli.
Adapun untuk penghitungan zakat mal,
tidaklah perlu untuk menunggu pencairan harta itu. Memang, laba akan lebih
jelas dengan adanya jual beli, tetapi yang menjadi patokan penghitungan zakat
itu ialah pada penentuan nilai atau harga, bukan dengan nyata laba dengan jual
beli. Jadi berdasarkan ini proses penilaian barang yang belum cair dihitung
pada akhir haul (tahun), juga didasarkan pada jumlah tambahan dari harta itu,
kemudian digabung dengan laba rill. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah “Jika kamu memetik hasil (mengambil
keuntungan), ambilah, tetapi tinggalkan sepertiganya. Jika tidak kamu
tinggalkan (yang sepertiga itu), tinggalkanlah seperempatnya.” (HR. Ahmad
dan Ibnu Majah). Kaidah inilah yang dipakai untuk menentukan dan mengukur
standar zakat mal.
Adapun di dalam syirkah-syirkah
mudharabah yang bersifat sementara, para ulama berpendapat bahwa penghitungan
zakat harus berdasarkan laba rill yang sudah ada, jadi disyaratkan cairnya dana
(mal), karena masa aktif perusahaan itu biasanya relatif pendek seperti
transaksi jual beli.
7.
Kaidah Penilaian Uang berdasarkan Emas dan Perak
Kaidah
ini menunjukan pentingnya menilai aktivitas-aktivitas ekonomi dan mengesahkan
atau menegaskannya dalam surat berdasarkan kesatuan moneter, yaitu emas dan
perak dengan memposisikan keduanya sebagai nilai terhadap barang-barang serta
ukuran untuk penentuan harga dan sekaligus sebagai pusat harga.
8.
Prinsip Penentuan Nilai atau Harga Berdasarkan Nilai
Tukar Rupiah yang Sedang Berlaku
Penentuan
nilai ditunjukkan untuk memberikan batasan dan ukuran terhadap hasil-hasil
usaha, dan menjelaskan sentral keuangan untuk proyek-proyek yang kontinu, baik
proyek-proyek pribadi maupun perseroan, berdasarkan nilai tukar yang berlaku.
Maksudnya, harga jual biasa setelah memisahkan biaya-biaya penjualan,
distribusi, dan biaya-biaya administrasi.[16]
Kaidah ini berasal dari pendapat jumhur ulama, yaitu “tidak ada laba kecuali
setelah menyisihkan modal pokok yang sebenarnya.”
Implementasi
kaidah ini adalah untuk memelihara keselamatan dan keutuhan modal pokok untuk
perusahaan dari segi tingginya volume proses penukaran barang dan kemampuan
barang itu untuk berkembang dan menghasilkan laba.
Penerapan
kaidah ini sangat jelas dalam mengukur dan menghitung zakat barang perdagangan.
Di dalam kitab al-Amwal karangan Abu Ubaid bin Salam, ada beberapa pendapat
ulama, yang di antaranya Maimun bin Mahran yang berkata, “ jika telah sampai
waktu kewajiban mengeluarkan zakat kepada kamu, perhatikanlah barang-barang
yang kamu miliki seperti uang atau barang dan nilainya barang itu dengan nilai
uang. Yang termasuk utang yang bisa kamu bayar, hitunglah dan bayarkanlah utang
itu dengan uang-uang itu, kemudian zakatilah jumlah yang tinggal.” Jadi,
penetapan nilai itu berdasarkan harga realitas di pasar dan pada harga jual
beli darurat, atau dalam keadaan banjir pasar (barang) ataupun pasar lesu.
Sebagian
ahli fiqih mengatakan bahwa kadang-kadang dibolehkan menentukan nilai
berdasarkan biaya-biaya pada masa lalu dengan syarat tidak pada barang-barang
yang akan dizakati.
9.
Prinsip Perbandingan dalam Penentu Laba
Prinsip
ini ditunjukan untuk menghitung dan mengukur laba dan rugi pada perusahaan
mudharabah yang kontinu, serta penentuan aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya
yang menghendaki perbandingan antara biaya-biaya dan uang masuk selama periode
waktu yang bisa saja satu tahun atau juga masa keaktifan mudharabah.
Yang
dimaksud dengan biaya-biaya di atas adalah pengorbanan finansial dalam upaya
mencapai atau mendapatkan uang masuk (income).
Oleh karena itu, biaya-biaya itu dalam fiqih Islam dapat dibagi sebagai
berikut.[17]
1. Biaya yang ada pengganti (imbalan), yang
disebut biaya biasa.
2. Biaya yang tidak ada penggantinya, yang disebut
kerugian, atau kerusakan.
Yang
dimaksud dengan uang masuk di sini adalah harga penjualan selama periode waktu
tertentu. Jadi, perbedaan anatara biaya dengan uang masuk dianggap sebagai
pertumbuhan dan perkembangan, yang mana pertumbuhan ini juga terbagi ke dalam
tiga hal berikut.[18]
a. Laba, yaitu bentuk perkembangan yang
terjadi dari praktik atau aktivitas biasa.
b. Ghallah,
yaitu yang menunjukkan adanya pertambahan pada barang yang akan dijual (laba
marginal).
c. Faidah,
yaitu perkembangan dalam suplai barang yang dimiliki, yang dalm teori akuntasi
positif disebut keuntungan dari penjualan barang modal (laba mayor).
Kaidah
ini telah dipraktikkan pada masa awal berdirinya negara Islam di banyak bidang,
seperti waqaf, syirkah mudharabah, dan pada perhitungan zakat mal. Untuk
menentukan keuntungan dalam perusahaan mudharabah adalah dengan membandingkan
pendapatan-pendapatan dari mudharabah dengan biaya-biayanya, dan kelebihannya
adalah laba atau keuntungan yang dibagidi antara si pemilik modal dan pekerja.
Kaidah
“perbandingan” ini juga dipakai untuk menentukan kadar zakat perdagangan, yaitu
dengan membandingkan sirkulasi modal dengan sirkulasi modal dengan passiva (kekurangan), dan yang
menunjukkan perbedaan modal pokok murni yang akan dikenai zakat setelah ditambahkan
dengan laba dan juga uang-uang yang didapat. Kaidah ini juga dipakai untuk
menentukan perubahan-perubahan pada jaminan atau tanggungan para pedagang,
yaitu dengan membandingkan hak-hak murni seorang pedagang pada awal usahanya
dengan hak-hak di akhir usahanya.[19]
Kaidah
ini juga dipakai pada baitul mal, yang mana membandingkan pendapat dengan
biaya-biaya yang keluar untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan. Di dalam
anggaran zakat mal, perbandingan terdapat pada jumlah zakat mal dan pihak-pihak
yang berhak menerimanya.
10.
Prinsip
Muwa’amah (Keserasian) antara Pernyataan dan Kemaslahatan
Teori
akuntansi Islam menganggap perlu untuk menjelaskan hasil-hasil aktivitas
ekonomi, begitu juga sentral keuangan untuk kesatuan ekonomi yang ditujukan
untuk para pemiliknya dan pihak-pihak yang berkepentingan , karena ini termasuk
hak-hak si pemilik modal, si pkerja, dan pihak interatif di dalamnya serta
masyarakat Islam.[20]
Berdasarkan
keterangan di atas, seorang akuntan muslim harus menjelaskan
keterangan-keterangan yang telah dipublikasikan secara wajar, yaitu sesuai
dengan kesanggupan dan situasi serta
juga dengan metode yang bisa melindungi kemaslahatan dan tidak memudharatan. Di
sisi lain seorang akuntan harus konsisten dengan kejujuran dan amanah dalam
memaparkan informasi-informasi akunting, dan menghindari pemalsuan atau
merahasiakan sesuatu serta berbuat curang atau pemalsuan karena semua itu
bukanlah akhlak seorang muslim.
Di
dalam kesatuan ekonomi hendaklah dibandingkan antara statmen informasi di suatu
sisi dan kemaslahatan pihak-pihak tertentu di sisi lain, seperti orang yang
menanam modal, menanam saham, karyawan atau pekerja, pihak-pihak yang ikut
interaksi di dalamnya, serta lembaga-lembaga pemerintahan, yang mana suatu
kemaslahatan tidak mungkin menzalimi kemaslahatan yang lain. Tidak ada ukuran
yang jelas untuk menentukan tingkat kejelasan yang diperlukan.
E.)
Persamaan dan Perbedaan antara Kaidah Akuntasi Islam
dan Kaidah Akuntansi Konvensional
Kita
telah tahu bahwa konsep akuntansi Islam itu didasarkan pada kaidah-kaidah pokok
yang permanen yang diistinbathkan dari sumber-sumber fiqih Islam. Kaidah-kaidah
ini memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari kaidah akuntansi
konvensional. Berikut ini perbandingan antara kedua kaidah tersebut secara ringkas.[21]
1. Segi Persamaan
a. Prinsip persamaan pemisahan jaminan
keuangan dengan prinsip unit ekonomi.
b. Prinsip hauliah (penahunan) dengan
prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan.
c. Prinsip pembukuan langsung dengan
pencatatan bertanggal.
d. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan
prinsip perbandingan income dengan cost (biaya).
e. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan
perusahaaan.
f. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
2. Segi Perbedaan
a. Para ahli akuntansi modern berbeda
pendapat dalam cara menentukan nilai harga atau harga untuk melindungi modal
pokok. Mereka juga belum menentukan (hingga sekarang) apa yang dimaksud dengan
modal pokok (kapital atau ra’sul-maal).
b. Modal dalam konsep akuntansi
konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan
modal yang beredar (aktiva lancar). Adapun dalam konsep akuntansi Islam,
barang-barang pokok itu dibagi menjadi: harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stok). Harta berupa barangpun dibagi
menjadi barang milik dan barang dagang.
c. Menurut konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan
barang-barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya,
melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga,
atau sebagai sumber harga atau nilai.
d. Konsep akuntansi konvensional
mempraktikkan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian
dalam penghitungan, serta menyepelekan laba-laba yang masih bersifat mungkin.
Adapun konsep Islam sangat memperhatikan hal-hal itu dengan cara penentuan
nilai/harga dengan berdasarkan pada nilai tukar yang berlaku serta membentuk
cadangan-cadangan untuk kemungkinan-kemungkinan bahaya dan resiko.
e. Konsep akuntansi konvensional menerapkan
prinsip laba universal, yang mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan
juga uang-uang haram lainnya. Adapun konsep Islam dibedakan antara laba dari
aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) serta
transaksi. Juga, wajib menjelaskan pendapatn-pendapatan kotor/haram jika ada
dan berusaha menghindarinya serta menyalurkannya pada tempat-tempat yang telah
ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba ini tidak boleh dibagi untuk mitra usaha
atau dicampurkan pada modal pokok.
f. Konsep konvensional menerapkan prinsip
bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual beli, sedangkan konsep Islam
memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan
pertambahan pada nilai tukar, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan
tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba dan laba itu
tidak boleh dibagi kecuali setelah nyata laba itu diperoleh.
g. Konsep akuntansi Islam lahir dari
masyarakat Islam, ekonomi Islam, teori akuntansi Islam, kemudian Praktek
Akuntansi Islam. Sedangkan sistem yang kita alami saat ini adalah sistem dengan
struktur masyarakat kapitalis, ideologi kapitalis, ekonomi kapitalis, teori
akuntansi kapitalis, praktek Akuntansi kapitalis.[22]
Istilah-istilah Akuntansi Syariah[23]
Akad : Pertalian ijab dengan qabul menurut cara-cara yang
disyari’atkan yang
berpengaruh terhadap objeknya.
Al-mashnu : Barang pesanan dalam transaksi itishna.
Al-muslam fihi : Komoditas yang dikirimkan dalam transaksi salam.
Al-muslam ilaihi : Penjual dalam transaksi salam.
Al-muslam : Pembeli dalam transaksi salam
Al-mustashni : Pembeli akhir dalam transaksi itishna.
Amil : Petugas pendistibusian zakat.
A-shan : Produsen/supplier dalam transaksi itishna.
Fiisabililla : Orang yang berjuang di jalan Allah.
Gharim : Orang yang berutang dan kesulitan untuk melunasinya.
Halal : Sesuatu yang di perbolehkan oleh Islam.
Haul : Cukup waktu satu tahun bagi pemilikan harta kekayaan seperti
Al-mashnu : Barang pesanan dalam transaksi itishna.
Al-muslam fihi : Komoditas yang dikirimkan dalam transaksi salam.
Al-muslam ilaihi : Penjual dalam transaksi salam.
Al-muslam : Pembeli dalam transaksi salam
Al-mustashni : Pembeli akhir dalam transaksi itishna.
Amil : Petugas pendistibusian zakat.
A-shan : Produsen/supplier dalam transaksi itishna.
Fiisabililla : Orang yang berjuang di jalan Allah.
Gharim : Orang yang berutang dan kesulitan untuk melunasinya.
Halal : Sesuatu yang di perbolehkan oleh Islam.
Haul : Cukup waktu satu tahun bagi pemilikan harta kekayaan seperti
perniagaan,emas,ternak sebagai batas
kewajiban membayar zakat.
Hiwalah : Pemindahan atau pengalihan hak dan kewjiban, baik dalam pengalihan
Hiwalah : Pemindahan atau pengalihan hak dan kewjiban, baik dalam pengalihan
piutang maupun utang,dan jasa pemindahan/pengalihan
dan dari satu entitas.
kepada entitas lainnya.
Ibnusabil : Orang yang dalam perjalanan
Ijarah : Perpindahan kepemilik an jasa dengan imbalan yang sudah disepakati.
Ibnusabil : Orang yang dalam perjalanan
Ijarah : Perpindahan kepemilik an jasa dengan imbalan yang sudah disepakati.
ijarah ini mempunyai 3 (tiga)
unsur :
• bentuk yang mencakup penawaran atau persetujuan;
• dua pihak pemilk aset yang disewakan dan pihak yang memanfaatkan
jasa dari aset yang disewakan;
• objek dari akad ijarah,yang mencakup jumlah sewa dan jasa yang Dipindahkan kepada penyewa.
• bentuk yang mencakup penawaran atau persetujuan;
• dua pihak pemilk aset yang disewakan dan pihak yang memanfaatkan
jasa dari aset yang disewakan;
• objek dari akad ijarah,yang mencakup jumlah sewa dan jasa yang Dipindahkan kepada penyewa.
Ijarah
Operasianal :
Akad ijarah yang tidak berakhir dengan pemindahan kepemilikan dari asset yang disewakan kepada penyewa.
Ijarah
muntahiyah bittamlik : Akad ijarah yang berakhir
dengan opsi berpindahnya kepemilikan
asset yang disewakan kepada penyewa.
Infak : Pemberian
sesuatu yang akan digunakan untuk kemaslahatan umat.
Istishna : Kontrak
penjualan antara al-mustani (penjual akhir) dan al- shani (pemasok) dimana
al-shani berdasarkan suatu pemesanan dari al-mustani-berusaha membuat sendiri
atau meminta pihak lain untuk membuat atau membeli al-masnu (pokok) kontrak,
menurut spesifikasi yang di syaratkan dan menjualnya kepada al-mustasni dengan
harga sesuai dengan kesepakatan serta dengan metode penyelesaian dimuka melalui
cicilan atau di tangguhkan sampai suatu waktu di masa depan. Ini merupakan
syarat kontrak dari Istishna sehingga Al-shani hars menyediakan bahan baku atau
tenaga kerja. Kesepa katan akad istishna mempunyai ciri-ciri yang sama dengan
salam karena dia menentukan penjualan produk tidak tersedia pada saat
penjualan. Dia juga mempunyai ciri-ciri yang sama dengan penjualan biasa karena
harga biasa dibayar secara kredit; tetapi tidak seperti salam,harga pada
istishna adalah sama dengan ijarah karena tenga kerja digunakan pada keduanya
Kaafil : Pihak yang
memberikan jaminan untuk menanggung kewajiban pihak lain dalam akad kafalah.
Kafalah : Akad
peminjaman yang diberikan oleh kaafil (penanggung/bank)kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang di tanggung (makful ‘anhu,ashil)
Ma’jur : Objek sewa
dalam transaksi ijarah.
Makful : Penerima
jaminan dalam akad kafalah.
Muallaf : Orang yang
baru memeluk agama Islam.
Mudhrabah : Perjanjian kerja sama
untuk mencari keuntungan antara pemilik modal dan pengusaha (pengelola
dana).Perjanjian tersebut bisa saja terjadi antara deposan (invesment
account)sebagai penyedia dana dan bank syariah sebagai mudharib. Bank syariah
menjelaskan keiinginannya untuk menerima dana investasi dari sejumlah nasabah,
pembagian keuntungan disetujui antara kedua belah pihak sedangkan kerugian di
tanggung oleh penyedia dana, asalkan tidak terjadi kesalahan atau pelanggaran
syariah yang telah ditetapkan, atau tidak terjadi kelalaian di pihak bank syariah.
Kontrak mudharabah dapat juga diadakan antara bank syariah sebagai pemberi
modal atas namanya sendiri atau khusus atas nama deposan, pengusaha para
pengrajin lainnya termasuk petani,pedagang dan sebagainya. Mudharabah bebeda
dengan spekulasi yang berunsur perjudian (gambling) dalam pembelian dan
transaksi penjualan.
Kaafil : Pihak yang
memberikan jaminan untuk menanggung kewajiban pihak lain dalam akad kafalah.
Kafalah : Akad
peminjaman yang diberikan oleh kaafil (penanggung/bank)kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang di tanggung (makful ‘anhu,ashil)
Ma’jur : Objek sewa
dalam transaksi ijarah.
Makful : Penerima
jaminan dalam akad kafalah.
Muallaf : Orang yang
baru memeluk agama Islam.
Mudhrabah : Penjualan barang dengan margin keuntungan yang disepakati dan
penjual memberitahukan biaya perolehan dari barang yang dijual tersebut.
Penjualan murabahah ada dua jenis : (1)
bank syariah membeli barang dan menyediakan untuk dijual tanpa janji sebelumnya
dari pelanggan untuk membelinya. (2) bank syariah membeli barang yang sudah
dipesan oleh pelanggan dari pihak ketiga lalu kemudian menjual barang ini
kepada pelanggan yang sama. pada kasus kedua ini bank syariah membeli barang
hanya setelah seorang pelanggan membuat janji untuk membayarnya kepada bank.
Musta’jir : Penyewa dalam transaksi ijarah.
Musahiq : Penerima zakat, Al quran mengatur bahwa penerima zakat adalah yang
Musahiq : Penerima zakat, Al quran mengatur bahwa penerima zakat adalah yang
disebut sebagai 8 (delapan
)asnaf (golongan/kelompok)
Musyarakah : Bentuk kemitraan bank syariah dengan nasabahnya dimana
masing-
masing pihak
mennyumbangkan pada modal kemitraan dalam
jumlah yang sama atau berbeda untuk menyelesaikan suatu proyek atau
bagian pada proyek yang sudah ada.
jumlah yang sama atau berbeda untuk menyelesaikan suatu proyek atau
bagian pada proyek yang sudah ada.
Musyarakah Permanen/tetap : Musyarakah dimana bagian mitra dalam modal musyarakah tetap sepanjang jangka waktu yang di tetapkan dalam
akad tersebut.
Musyarakah Menurun : Musyarakah dimana bank memberikan kepada pihak lainnya hal untuk membeli bagian
sahamnya dalam musyarakah sehingga bagian bank menurun dan kepentingan saham
mitra meningkat sampai menjadi pemilik tunggal dari keseluruhan modal.
Muwakil : Pemberi
kuasa/nasabah dalam transaksi wakalah.
Muzaki :
Pembayar zakat.
Nisab :
Batas ukuran minimal,jika harta dan peniagaan seseorang telah melewati
batas ini maka zakat terhadap harta dan perniagaan wajib dibayarkan.
Nisbah :
Rasio/perbandaingan pembagian keuntungan (bagi hasil) antara
Shahibul maal dan mudharib. Qardhul(pinjaman) penyediaan dana atau tagihan yang dapat di persamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang meminjamkan, yang mewajibkan peminjam dan melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu. Pihak yang meminjam dapat menerima imbalan, namun tidak diperkenakan dipersyaratkan di dalam perjanjian.
Shahibul maal dan mudharib. Qardhul(pinjaman) penyediaan dana atau tagihan yang dapat di persamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang meminjamkan, yang mewajibkan peminjam dan melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu. Pihak yang meminjam dapat menerima imbalan, namun tidak diperkenakan dipersyaratkan di dalam perjanjian.
Qardhul hasan : Pinjaman tanpa imbalan yang memungkinkan peminjaman
untuk menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu mengemblikan dalam
jumlah yang sama pada akhir periode yang di sepakati. jika peminjam mengalami
kerugian yang bukan merupakan kelalainnya maka kerugian tersebut dapat
mengurangi jumlah pinjaman.
Riba :
Pengambilan tambahan,baik dalam transaksi jual-beli maupun Pinjam- meminjam secara bathil atau pertentangan dengan ajaran Islm.
Riqab : Hamba sahaya
Salam : Bai’as-salam;
jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran dilakukan di
muka, dengan syarat-syarat tertentu.
Salam parallel : Dua transaksi
bai’as-salam antara bank dengan nasabah dan antara bank dengan pemasok
atau pihak ketiga lainnya secara simultan.
Shadaqah : Pemberian sesuatu kepada orang lain dengan mengharap ridho Allah semata.
Shahibul maal : Pemilik dana.
Sharaf : Akad jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi valuta asing pada bank syariah hanya dapatdi lakukan untuk tujuan lindung nilai dan tidak diperkenankan untuk tujuan spekulatif.
Shadaqah : Pemberian sesuatu kepada orang lain dengan mengharap ridho Allah semata.
Shahibul maal : Pemilik dana.
Sharaf : Akad jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi valuta asing pada bank syariah hanya dapatdi lakukan untuk tujuan lindung nilai dan tidak diperkenankan untuk tujuan spekulatif.
Taukil :
Tugas.
Ta’zir : Denda yang harus dibayar akibatpenundaan pengembalian piutang, dana dari denda ini akan dikumpulkan sebagai dana sosial.
Ta’zir : Denda yang harus dibayar akibatpenundaan pengembalian piutang, dana dari denda ini akan dikumpulkan sebagai dana sosial.
Ujrah
: Imbalan.
Urbun : Jumlah yang di bayar oleh nasabah (pemesan) kepada penjual (yaitu pembeli mula-mula) pada saat pemesan pembeli sebuah barang dari penjual. Jika nasabah atau pelanggan meneruskan penjualan dan pengambilan barang, maka urbun akan menjadi bagian dari barang.
Urbun : Jumlah yang di bayar oleh nasabah (pemesan) kepada penjual (yaitu pembeli mula-mula) pada saat pemesan pembeli sebuah barang dari penjual. Jika nasabah atau pelanggan meneruskan penjualan dan pengambilan barang, maka urbun akan menjadi bagian dari barang.
Wadiah :
Titipan nasabah yang harus dijaga dan di kembalikan setiap saat apa bila nasabah yang
bersangkutan menghendaki.bank bertanggung jawab atas
pengembalian titipan tersebut.
pengembalian titipan tersebut.
Wadiahyad-dhamanah : Titipan yangselama
belum di kembalikan kepada penitip dapat
dimanfaatkan
oleh penerima titipan.apa bila dari hasil pemanfaatan tersebut diperoleh
keuntungan maka seluruhnya menjadi hak penerima penitipan.
Wadiah yad-amanah : Titipan yang selama
belum dikembalikan pada penitipan tidak boleh
dimanfaatkan leh penerima titipan sampai barang titipan tersebut
diambil oleh penitip.
Wakala : Akad pemberian kuasadan muwakil(pemberi kuasa/nasabah) kepada
wakil :
(penerima kuasa/bank)untuk melaksanakan suatu
taukil(tugas)atas nama Pemberi kuasa.
Wakil :
Penerima kuasa atau bank.
Zakat : Secara harifah, zakat berarti keberkahan,penyucian,peningkatan dan suburnya perbuatan baik. Disebut zakat karena dia memberkahi kekayaan
yang dizakatkan dan melindunginya. Di dalam syariah, zakat merupakan suatu kewajiban mengenai dana yang di bayarkan untuk tujuan khusus dan untuk kategori tertentu oleh Allah Yang Maha Kuasa untuk mereka yang berhak terhadap zakat sebagaimana ditentukan dalam AL QURAN kata zakat juga digunakan untuk menunjukkan jumlah yang dibayarkan dari dana-dana yang terkena kewajiban zakat.
Zakat : Secara harifah, zakat berarti keberkahan,penyucian,peningkatan dan suburnya perbuatan baik. Disebut zakat karena dia memberkahi kekayaan
yang dizakatkan dan melindunginya. Di dalam syariah, zakat merupakan suatu kewajiban mengenai dana yang di bayarkan untuk tujuan khusus dan untuk kategori tertentu oleh Allah Yang Maha Kuasa untuk mereka yang berhak terhadap zakat sebagaimana ditentukan dalam AL QURAN kata zakat juga digunakan untuk menunjukkan jumlah yang dibayarkan dari dana-dana yang terkena kewajiban zakat.
1.4
KESIMPULAN
Menurut
ulama ushul fiqih, “kaidah” ialah persoalan-persoalan umum yang semua unsurnya
mengandung hukum-hukum bagi bagian-bagian persoalan yang banyak. Kaidah-kaidah
ini digunakan untuk memahami dan menyimpulkan hukum-hukum syar’i praktis dari
dalil-dalil yang terperinci.
Ciri-ciri
Akuntasi Syariah:
a.
Keistimewaan dari segi akidah dan akhlak
b.
Keistimewaan karena mengombinasikan antara
subjek-subjek yang permanen (tetap) dan yang tathawwur (yang berkembang)
c.
Keistimewaan bentuknya yangg sistematis dan
universal
Kaidah-kaidah Akuntasi Syariah:
1.
Kaidah Independensi jaminan Keuangan (financial)
2.
Kaidah kesinambungan aktivitas
3.
Kaidah Hauliah (pentahunan) Anggaran
4.
Kaidah pembukuan lagsung dan lengkap dengan Tanggal,
Bulan dan Tahun.
5.
Kaidah pembukuan yang di serta penjelasan atau
penyaksian Objek.
6.
Kaidah Pertambahan Laba dalam Produksi, serta
Keberadaannya dalam Jual Beli
7.
Kaidah Penilaian Uang berdasarkan Emas dan Perak
8.
Prinsip Penentuan Nilai atau Harga Berdasarkan Nilai
Tukar Rupiah yang Sedang Berlaku
9.
Prinsip Perbandingan dalam Penentu Laba
Istilah-istilah dalam
akuntansi syariah meliputi:
Akad, Al-mashnu, Al-muslam fihi, Al-muslam ilaihi, Al-muslam, Al-mustashni, Amil,A-shan, Fiisabililla, Gharim, Halal, Haul, Hiwalah, Ijarah, Infak, Istishna, Kaafil, Kafalah, Ma’jur, Makful, Muallaf, Mudhrabah, Musta’jir, Musahiq, Musyarakah, Musyarakah
Permanen/tetap Musyarakah, Muwakil, Muzaki, Nisab, Nisbah, Qardhul hasan, Riba dll.
DAFTAR PUSTAKA
ü Syahatah, Husein. Pokok-pokok
Pikiran Akuntansi Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2001.
ü Blog bu titik Arniati. 14.00.
ü Syafri Harahap,
Sofyan. Akuntansi Islam, Jakarta :
Bumi Aksara.2004.
ü Wahab
Khallaf,Abdul. Usul Fiqh Islam. T.tp. Dar
al-Kalam. 1980.
[1] Syekh Abdul Wahab
Khallaf, Usul Fiqh Islam, (Dar
al-Kalam, 1980), cet II hlm.13.
[2] Husein Syahatah, Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam, (Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, 2001) hlm.65.
[3] Ibid, hlm.64-65.
[4] Ibid, hlm.66.
[5] Ibid.
[6] Loc.cit, hlm.21.
[7] Husein Syahatah, Ibid,
hlm.68-71.
[8] Ibid, hlm.73
[9] Ibid, hlm.75
[10] Ibid, hlm.75
[11] Ibid, hlm.76
[12] Ibid, hlm.76
[13] Ibid, hlm.78
[14] Ibid, hlm.60
[15] Ibid, hlm.83
[16] Ibid, hlm. 88.
[17] Ibid, hlm. 90.
[18] Ibid.
[19] Ibid, hlm. 91.
[20] Ibid, hlm. 92.
[21] Ibid, hlm. 93.
[22] Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2004) hlm 151-152.
[23] Blog Spot Bu Titik Aryanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar