Minggu, 01 April 2012


KELOMPOK 3
KAIDAH-KAIDAH DAN ISTILAH-ISTILAH AKUNTANSI AYARIAH
Disusun untuk memenuhi Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah
Pengantar Akuntansi Syariah Pada Jurusan Muamalat-Ekonomi
Perbankan Islam Fakultas Syariah


                                                             




Disusun Oleh Kelompok: 3 MEPI 6/SMT 2
v  Asiti
v  Annisa Mufidah
v  Diah Maudiah


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2012
.

 
 


A.    PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Kaidah dan istilah akuntansi  dalam konvensional tidak umum lagi untuk sebagian orang, namun bagaimana dalam syariah islam?, kaidah dalam akuntansi syariah di gunakan untuk menemukan hukum-hukum yang berpegang Nas yaitu Al-baqarah 282,  akuntansi islam sudah ada sejak zaman Rosulullah untuk perhitungan  zakat dan instalansi pemerintahan dan lain-lain, di akuntansi konvensional  sendiri mengklaim lukas paciolo dari italia sebagai bapak akuntansi yang pertama memukakan metode akuntansi. Tentunya walau demikian pastilah terdapat perbedaan baik dalam kaidah maupun istilahnya.
1.2  RUMUSAN MASALAH
a)      Apa pengertian kaidah Akuntasai Syariah itu?
b)      Bagaimana ciri-ciri Akuntasi Syariah?
c)      Bagaimana pembagian Kaidah-kaidah akuntasi?
d)     Apa Persamaan dan Perbedaan Kaidah Akuntasi Islam dengan Kaidah Konvensonal ?
e)      Apa istilah-istilah yang di gunakan dalam Akuntasi Islam?
1.3  PEMBAHASAN MASALAH
B.     Pengertian “Kaidah” Menurut Ushul Fiqih Islam
1.      Arti Kata Kaidah Menurut Ilmu Ushul Fiqih
Menurut ulama ushul fiqih, “kaidah” ialah persoalan-persoalan umum yang semua unsurnya mengandung hukum-hukum bagi bagian-bagian persoalan yang banyak. Kaidah-kaidah ini digunakan untuk memahami dan menyimpulkan hukum-hukum syar’i praktis dari dalil-dalil yang terperinci.[1]
 Sebagai contoh, kaidah al-Amru lil-Ijabi artinya bahwa “perintah itu wajib”. Kaidah ini digunakan untuk menentukan hukum-hukum syar’i praktis yang wajib, seperti pada firman Allah yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”. (al-Baqarah:278).
Disini, Allah memerintahkan kepada kita untuk meninggalkan riba. Perintah ini adalah suatu hukum, bahwa meninggalkan riba itu adalah wajib. Begitu juga dengan kaidah an-Nahyu lit-Tahrim (larangan itu adalah untuk pengharaman) dalam menentukan hukum syar’i praktis terhadap persoalan-persoalan yang dilarang. Seperti firman Allah yang arinya: “.... dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari utangnya.......” (al-Baqarah:282).
Disini, Allah melarang kita mengurangi sesuatu pada penghitungan. Ini berarti bahwa mengurangi hak orang lain itu dilarang. Dalam meletakan kaidah-kaidah itu dengan metode istiqra’i (penyimpulan), yaitu penyimpulan hukum-hukum syar’i dan demikian pula dengan illat-illat hukum serta hikmah pensyariatannya. Para ulama ushul selalu menggunakan uslub-uslub bahasa Arab dan keterangan-keterangan syar’i (hukum Islam).
Diantara kaidah-kaidah global yang penting dalam fiqih Islam adalah:[2]
1.      Perintah itu menunjukan kepada wajib
2.      Larangan itu menunjukan kepada haram
3.      Al-am ialah yang tersusun semua unsurnya secara pasti
4.      Mutlak adalah menunjukan atas unsur yang umum tanpa ikatan
Sementara itu, kaidah-kaidah kulli (global) yang dipakai oleh ulama fiqih adalah kaidah-kaidah selektif yang akan diterapkan pada bagian-bagian dalil kulli (global) untuk mencapai hukum syar’i praktis yang dapat digunakan di bidang-bidang berikut:[3]
1.      Untuk memahami nash-nash syar’i dalam mengetahui hukum-hukum yang dikandungnya, dan juga untuk mengetahui rahasia-rahasia yang masih tersembunyi didalamnya serta apa-apa yang dibatalkan ketika terjadi ta’arud (kintradiksi) antara satu nash dan nash yang lain.
2.      Untuk menarik hukum dengan qiyas, istihsan atau yang lainnya ketika tidak ada nash yang menjelaskan hukumnya.
3.      Untuk memahami apa-apa yang telah disimpulkan oleh para imam mazhab yang empat dan para mujtahid yang lain, dengan pemahaman yang benar serta membandingkan antara mazhab-mazhab mereka dalam beberapa masalah yang berbeda.
Kaidah-kaidah ushul fiqih yaitu sebagai alat atau sarana yang dapat membantu ahli fiqih atau orang yang menetapkan hukum untuk memelihara kemaslahatan umum dan konsisten dengan batas-batas ajaran Ilahi dalam menetapkan hukum. Juga dapat membantu seorang hakim untuk berlaku adil di pengadilan dan menetapkan hukum-hukum secara benar dengan tidak terbatas pada nash-nash dan hukum-hukum syar’i.[4]
C.    Pengertian Kaidah Akuntansi Dalam Konsep Islam
1.      Pengertian Kidah Akuntasi dalam Konsep Islam
Kaidah akuntansi dalam konsep Islam dapat didefinisikan sebagai dasar-dasar hukum yang berlaku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber hukum Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan maupun penjelasan. Juga untuk menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa, apakah peristiwa itu sesuai dengan hukum-hukum syariat Islam atau tidak.[5]
Kaidah-kaidah tersebut juga dianggap sebagai ukuran atau standar yang bisa membantu dalam memahami suatu kejadian atau peristiwa yang telah terjadi. Kaidah syumuliah (universalitas) juga dapat membantu pencatatan dalam memastikan terjadinya setiap peristiwa keuangan dan ekonomi.
Dalil-dalil kaidah akuntansi diambilkan dari sumber-sumber fiqih Islam, yaitu sebagai berikut:
a.       Al-Qur’an, yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk dijadikan undang-undang yang mengatur manusia disegala bidang.
b.      Sunnah Nabawiyyah, yaitu apa-apa yang berasal dari Rasulullah saw baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang dianggap sebagai uswah dan panutan.
c.       Ijma, yaitu yang berasal dari kesepakatan para ulama dan imam-imam mujtahid yang terpercaya pada masa setelah wafatnya Rasulullah saw.
d.      Qiyas, yaitu persamaan suatu peristiwa tertentu yang tidak mempunyai nash, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits Nabi serta ijtihad para ulama dengan peristiwa lain yang memiliki kesamaan illat (alasan hukum)
e.       Uruf (alat kebiasaan) yaitu apa-apa yang telah dikenal dan terbiasa dikalangan masyarakat, dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam[6].
2. Ciri-Ciri Kaidah Akuntansi dalam Konsep Islam
Kaidah akuntansi dalam konsep Islam mempunyai keistimewaan khusus, seperti diterangkan berikut ini:[7]
a.      Keistimewaan dari segi akidah dan akhlak
Islam merupakan agama kesatuan antara ibadah dan muamalah, diantara akidah dan syariat dan antara dunia dan akhirat. Karena itu, didalam Islam seorang akuntan harus memiliki iman yang kuat karena semua transaksi dan perputaran uang yang dicatatnya itu, baik pemasukan mauoun pengeluaran dan juga laporan-laporan keuangan yang diberikannya kepada pelaku-pelaku transaksi, itu adalah milik Allah SWT. Ini ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya yang artinya: “.....dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.....” (al-Hadiid:7)
Jadi, seorang akuntan ketika membuat catatan, penelitian atau membuat laporan harus memastikan bahwa perputaran uang itu berjalan sesuai dengan hukum Allah. Ia tidak boleh menuruti saja keinginan si pemilik harta, yang bisa menimbulkan kemarahan Allah karena memalsukan keterangan atau hanya untuk meraih keuntungan duniawi. Seorang akuntan juga harus percaya bahwa ia akan dibangkitkan di Hari Kiamat untuk diminta keterangan serta mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan Allah dan sekkaligus menerima balasannya.
Keistimewaan ini telah terwujud pada periode pertama Islam, seperti kesadaran umat Islam untuk mengeluarkan zakat serta pembukuan kegiatan baitulmal. Semua ini terwujud karena pimpinan umat Islam waktu itu percaya bahwa seorang yang alim adalah orang yang memiliki dua sifat yaitu amanah dan kuat. Salah satu sebab gagalnya salah satu akuntan memberi informasi-informasi yang jujur bagi administrasi keuangan adalah lemahnya aspek akidah dan akhlak para akuntan itu.
b.      Keistimewaan karena mengombinasikan antara subjek-subjek yang permanen (tetap) dan yang tathawwur (yang berkembang)
Kaidah-kaidah dasar akuntansi yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak bisa diubah atau diganti sebab tidak kontradiktif dengan waktu maupun tempat bahkan juga dengan situasi apapun. Hanya saja, aturan rinci dan prosedurnya bisa saja mengalami perubahan dan berkembang sesuai dengan penggantian waktu dan tempat. Contohnya, Allah menyuruh kita untuk membukukan semua transaksi dan diperkuat dengan beberapa orang saksi. Maka kaidahnya akan berbunyi “al- kitabah al-muqtarinah bisy-syuhud” (pembukuan yang disertai saksi-saksi). Tetapi selanjutnya Islam memberikan kebabasan bagi para mujtahid untuk menentukan cara-cara pembukuan dan persaksian serta peraturan-peraturan yang bisa berbeda, tergantung pada waktu dan tempat.
Dengan demikian ijtihad para akuntan muslim berada dalam batas penyusunan aturan-aturan akuntansi, penentuan metode-metode dan penetapan prosedur-prosedur yang semuanya harus didasarkan pada kaidah-kaidah yang telah diistimbatkan dari sumber-sumber fiqih Islam yang bersifat kinstan dan stabil. Dengan dasar ini, tampak bahwa aspek-aspek implementasi dari konsep akuntansi dalam Islam mempunyai keistimewaan yaitu fleksibel dan dinamis.
c.       Keistimewaan bentuknya yangg sistematis dan universal 
Islam secara konseptual merupakan sistem kerja dan aturan hidup yang komplet dan sistematis. Menolak satu bagiannya berarti menolak keseluruhan Islam. Ementara konsep akuntansi Islam merupakan bagian dari konsep ekonomi Islam, dan konsep ekonomi Islam itu merupakan bagian dari konsep Islam secara keseluruhan.
Aturan-aturan akuntansi dalam konsep Islam saling melengkapi dalam upayanya mencapai tujuan. Unsur-unsur ini harus diimplementasikan secara bersama dan tidak boleh hanya menerapkan satu bagian atau beberapa bagian dengan meninggalkan unsur-unsur lain. Beberapa kaidah dari konsep akuntansi konvensional telah gagal diimplementasikan pada lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan Islam. Akibatnya, banyak karyawan lembaga itu berada dalam kesulitan besar karena ada kontradiksi dengan kaidah-kaidah hukum Islam, serta tidak ada keseragaman dengan konsep islam. Nilai-nilai dan tatakrama masyarakat islami.
d.      Keistimewaan dengan Unsur Logika (Mantik)
Kita tahu bahwa kebanyakan keidah muamalah keuangan dan non keuangan adalah mantik (rasional) yang sesuai dengan aksioma akal, seperti pada kaidah wajib mencatat muamalah, kesaksian terhadap pencatatan dan generalisasi pencatatan semua aspek muamalah. Tidak mungkin ada satu undang-undang akuntansi pun tanpa logika. Inilah sebab adanya beberapa kesamaan antara konsep kaidah-kaidah akuntansi islami dan konsep kaidah-kaidah akuntansi konvensional. Juga tidak satupun halangan syar’i untuk menggunakan pengalaman masyarakat selama pengalaman tersebut sesuai dan sejalan dengan syariat islam. Jadi jelaslah bahwa konsep akuntansi islam memiliki nilai-nilai spesifik, antara lain nilai syar’i, stabil, permanen, objektif, unifersal, sesuai untuk diterapkan dan rasional.
D.)  Sifat-Sifat Kaidah Akuntansi Menurut Konsep Islam
1.      Kaidah Independensi jaminan Keuangan (financial)
Perusahaan kendaknya mempunyai sifat yang jelas dan terpisah dari si pemilik perusahaan yang di sebut juga “kesatuan Ekonomi (Al-wihdah al-iqtishadiah)”.[8] Walaupun banyak perbedaan mengenai kaidah ini oleh sebagian ulama fiqh, amun Hukum nash al-qur’an maupun sunnah tidaklah mempersulit kita malah sebaliknya memudahkan kita,  penerapan jaminan keuangan oleh perusahaan yang di lakukan tergantung pada perusahaan tersendiri seperti adanya asuransi kesehatan, asuransi jiwa, jaminan mengeluarkan zakat dan lainnya yang berkonotasi pada jaminan keuangan. Jaminan keuangan sendiri terdapat ketentuan yaitu:
a.       Pada perusahaan perorangan, kaidah yang mengkaitkan jaminan keuangan bagi si pemegang dengan jaminan keuangan bagi perusahaan itu dapat di terapkan ketika menutupi kewajiban-kewjiban terhadap orang lain, atau ketika menghitung zakat pada akhir tahun.[9] Seperti kita berinvestasi berarti kita mengeluarkan suatu jaminan untuk hak-hak orang lain yaitu zakat.
b.      Untuk perusahaan-perusahaan non-perorangan, suatu perusahaan memiliki karakteristik tertentu yaitu selagi tidak ada hukum syara’i yang melarangnya.[10]dalam perdagangan, islam mengajarkan etika kita dalam bertransaksi antara penjual dan pembeli salah satunya yang mana kesepakatan keduanya di perioritaskan agar mencapai kemaslahatan.
 firman Alloh yang artinya :”…kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….”(an-Nisaa:29).
juga hadit rosulullah yang artinya :” mukmin itu (dalam urusan mereka) menurut syarat yang telah mereka sepakati, kecuali satu syarat, yaitu menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”.
c.       Untuk urusan wakaf dan otoritas (kekuasaan untuk bertindak), dalam  organisasi pemimpin di anggap sebagai wakil dari pemilik yang memiliki pertanggung jawaban sesuai aturan yanlg berlaku dengan menerapkan jaminan financial. [11] dalam bisnis otoritas bagi pemimpin sangant penting untuk masalah wakof dan seorang akuntasi yang membantu membatasi dan menghitungnya.
2.      Kaidah kesinambungan aktivitas
Untuk mejamin keseinambungan (kontinuitas)  aktivitas suatu perusahaan dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang buruk di masa mendatang.[12] Keseinambungan pada kehidupan yang di anjurkan dalam islam memberikan gambaran dalam sistem mudharabah pada perusahaan untuk menantisipasi kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi  dan bisa mengatasinya agar tidak berdampak buruk pada masa mendatang. Misalnya suatu akuntan akan memperkirakan  keuntungan perkiraan yang tidak pasti(zhanni) sampai haul ayang mana perusahaan wajib member zakat 2.5%  yang itu juga di sepakati para ulama.
3.      Kaidah Hauliah (pentahunan) Anggaran
Secara bahasa, haul berarti  satu tahun sempurna, jamaknya ialah ahwal. Dalam konteks akutansi islam yang di maksud haul ialah membagi perputaran perusahaan dalam waktu tertentu, perhitungan haul sangat di perlukan untuk menentukan dan, menghitung jumlah zakat mal.[13] Para ulama telah menerapkam kaidah haul untuk persiapan perhitungan akhir dan pusat keuangan perdagangan, dan perusahaan-perusahaan untuk perhitungan zakat. Yang mana dalam kaidah ini kita akan mengetahui input dan output di suatu perusahaan, mengetahui keuangan, mengetahui kelebihan dan kekurangan anggaran dan lain-lain.
4.      Kaidah pembukuan lagsung dan lengkap dengan Tanggal, Bulan dan Tahun.
Kaidah ini telah di terapkan pada kantor pemerintahan pertama islam, yang di dasarkan firman alloh Q.S  Al-baqarah 282 pada lafaz “uktubuhu” yang menunjukan pengertian pembukuan, dan lafaz “ila ajalin musamma” yang menunjukkan suatu tanggal tertentu.[14] An-Nuwairi berkata: “ suatu yang pertama kali di kerjakan oleh seorang juru tulis ialah membuat catatan berupa daftar atau angenda harian untuk kegiatan hariannya, kemudian menuliskan di sana : hari, tanggal, bulan, dan tahun pemakaian dan menuliskan semua perubahan yang terjadi di kantornya, seperti jumlah barang yang masuk, keluar, di pinjamkan/disewakan, dibeli, dijual, yang di tukarkan dan lain sebagainya. Juga, perubahan dalam jumlah ongkos/sewa atau jaminan kerusakan serta urain-uraian lainnya.
Dari uraian di atas pentingnya sistem pencataan yang benar dalam kegiatan operasional yang di tulis sedetail mungkin untuk membantu dan mempermudah perusahaan dalam kegiatan operasionalnya sehingga mengetahui keadaan naik atupun turun, rugi atau laba dan lain-lain. Aplikasi kaidah ini bisa kita lihat pada pembukuan dalam baitulmal.
5.      Kaidah pembukuan yang di serta penjelasan atau penyaksian Objek.
Kaidah ini atas dasar Q.S Al-baqarah 282, ayat yang menekankan pada fungsi aspek legalitas religi dari kesaksian dalam pencataan hutang dan piutang. Dalam fiqh islam kaidah ini di sebut pencataan dengan kesaksian.  Kaidah ini bisa di tunjukkan untuk baitulmal dengan tujuan :
a.       Media pencatatan dalam surat-surat atau faktur baitulmal;
b.      Media memindahkan informasi dari suatu tempat ke tempat lain;
c.       Media untuk kebebasan tanggungan orang bertansaksi dengan baitulmal.
Seperti gambaran pada umumnya seorang pedagang dan pembeli dalam transaksi utang-piutang tidak di dokumentasi atau adanya saksi maka pastinya akan merugikan khususnya pedagang manakala seorang yang meminjam lupa, apalagi dalam perusahaan besar kaidah ini sangat di butuhkan. Dalam dokumen sendiri harus mencatat sedetail mungkin dan pentingnya  seorang saksi agar tidak terjadi mudharat. Tujuan kaidah ini agar terjaga hak-hak orang lain. Di antara dokumen penting yang terdapat di baitulmal yaitu :[15]
a.       Asy-syahid (keterangan), yaitu suatu dokumen intern yang berfungsi untuk memawa data-data/informasi dari tempat ke tempat lain dalam baitulmal.
b.      Risalah humul (surat bawaan), yaitu surat dokumen yang membawa data-data atau informasi dari suatu kantor ke kantor lain.
c.       Al-bara-ah (bukti bebas atau lunas) yaitu sebuah dokumen yang di berikan kepada seseorang yang telah memembayar atau menyerahkan sesuatu kepada baitulmal, naik berupa uang maupun barang.
6.      Kaidah Pertambahan Laba dalam Produksi, serta Keberadaannya dalam Jual Beli
Didalam fikih Islam, laba itu dianggap sebagai perkembangan pada harta pokok yang terjadi dalam masa haul, baik setelah harta itu diubah dari barang menjadi uang maupun belum berubah. Artinya baik harta itu telah dicairkan dengan jual beli dari barang ke uang atau belum, maupun harta itu masih tetap dalam bentuk barang karena belum terjadi proses jual beli.
Adapun untuk penghitungan zakat mal, tidaklah perlu untuk menunggu pencairan harta itu. Memang, laba akan lebih jelas dengan adanya jual beli, tetapi yang menjadi patokan penghitungan zakat itu ialah pada penentuan nilai atau harga, bukan dengan nyata laba dengan jual beli. Jadi berdasarkan ini proses penilaian barang yang belum cair dihitung pada akhir haul (tahun), juga didasarkan pada jumlah tambahan dari harta itu, kemudian digabung dengan laba rill. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah “Jika kamu memetik hasil (mengambil keuntungan), ambilah, tetapi tinggalkan sepertiganya. Jika tidak kamu tinggalkan (yang sepertiga itu), tinggalkanlah seperempatnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Kaidah inilah yang dipakai untuk menentukan dan mengukur standar zakat mal.
Adapun di dalam syirkah-syirkah mudharabah yang bersifat sementara, para ulama berpendapat bahwa penghitungan zakat harus berdasarkan laba rill yang sudah ada, jadi disyaratkan cairnya dana (mal), karena masa aktif perusahaan itu biasanya relatif pendek seperti transaksi jual beli.
7.      Kaidah Penilaian Uang berdasarkan Emas dan Perak
Kaidah ini menunjukan pentingnya menilai aktivitas-aktivitas ekonomi dan mengesahkan atau menegaskannya dalam surat berdasarkan kesatuan moneter, yaitu emas dan perak dengan memposisikan keduanya sebagai nilai terhadap barang-barang serta ukuran untuk penentuan harga dan sekaligus sebagai pusat harga.
8.      Prinsip Penentuan Nilai atau Harga Berdasarkan Nilai Tukar Rupiah yang Sedang Berlaku
Penentuan nilai ditunjukkan untuk memberikan batasan dan ukuran terhadap hasil-hasil usaha, dan menjelaskan sentral keuangan untuk proyek-proyek yang kontinu, baik proyek-proyek pribadi maupun perseroan, berdasarkan nilai tukar yang berlaku. Maksudnya, harga jual biasa setelah memisahkan biaya-biaya penjualan, distribusi, dan biaya-biaya administrasi.[16] Kaidah ini berasal dari pendapat jumhur ulama, yaitu “tidak ada laba kecuali setelah menyisihkan modal pokok yang sebenarnya.”
Implementasi kaidah ini adalah untuk memelihara keselamatan dan keutuhan modal pokok untuk perusahaan dari segi tingginya volume proses penukaran barang dan kemampuan barang itu untuk berkembang dan menghasilkan laba.
Penerapan kaidah ini sangat jelas dalam mengukur dan menghitung zakat barang perdagangan. Di dalam kitab al-Amwal karangan Abu Ubaid bin Salam, ada beberapa pendapat ulama, yang di antaranya Maimun bin Mahran yang berkata, “ jika telah sampai waktu kewajiban mengeluarkan zakat kepada kamu, perhatikanlah barang-barang yang kamu miliki seperti uang atau barang dan nilainya barang itu dengan nilai uang. Yang termasuk utang yang bisa kamu bayar, hitunglah dan bayarkanlah utang itu dengan uang-uang itu, kemudian zakatilah jumlah yang tinggal.” Jadi, penetapan nilai itu berdasarkan harga realitas di pasar dan pada harga jual beli darurat, atau dalam keadaan banjir pasar (barang) ataupun pasar lesu.
Sebagian ahli fiqih mengatakan bahwa kadang-kadang dibolehkan menentukan nilai berdasarkan biaya-biaya pada masa lalu dengan syarat tidak pada barang-barang yang akan dizakati.
9.       Prinsip Perbandingan dalam Penentu Laba
Prinsip ini ditunjukan untuk menghitung dan mengukur laba dan rugi pada perusahaan mudharabah yang kontinu, serta penentuan aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya yang menghendaki perbandingan antara biaya-biaya dan uang masuk selama periode waktu yang bisa saja satu tahun atau juga masa keaktifan mudharabah.
Yang dimaksud dengan biaya-biaya di atas adalah pengorbanan finansial dalam upaya mencapai atau mendapatkan uang masuk (income). Oleh karena itu, biaya-biaya itu dalam fiqih Islam dapat dibagi sebagai berikut.[17]
1.      Biaya yang ada pengganti (imbalan), yang disebut biaya biasa.
2.      Biaya yang tidak ada penggantinya, yang disebut kerugian, atau kerusakan.
Yang dimaksud dengan uang masuk di sini adalah harga penjualan selama periode waktu tertentu. Jadi, perbedaan anatara biaya dengan uang masuk dianggap sebagai pertumbuhan dan perkembangan, yang mana pertumbuhan ini juga terbagi ke dalam tiga hal berikut.[18]
a.       Laba, yaitu bentuk perkembangan yang terjadi dari praktik atau aktivitas biasa.
b.      Ghallah, yaitu yang menunjukkan adanya pertambahan pada barang yang akan dijual (laba marginal).
c.       Faidah, yaitu perkembangan dalam suplai barang yang dimiliki, yang dalm teori akuntasi positif disebut keuntungan dari penjualan barang modal (laba mayor).
Kaidah ini telah dipraktikkan pada masa awal berdirinya negara Islam di banyak bidang, seperti waqaf, syirkah mudharabah, dan pada perhitungan zakat mal. Untuk menentukan keuntungan dalam perusahaan mudharabah adalah dengan membandingkan pendapatan-pendapatan dari mudharabah dengan biaya-biayanya, dan kelebihannya adalah laba atau keuntungan yang dibagidi antara si pemilik modal dan pekerja.
Kaidah “perbandingan” ini juga dipakai untuk menentukan kadar zakat perdagangan, yaitu dengan membandingkan sirkulasi modal dengan sirkulasi modal dengan passiva (kekurangan), dan yang menunjukkan perbedaan modal pokok murni yang akan dikenai zakat setelah ditambahkan dengan laba dan juga uang-uang yang didapat. Kaidah ini juga dipakai untuk menentukan perubahan-perubahan pada jaminan atau tanggungan para pedagang, yaitu dengan membandingkan hak-hak murni seorang pedagang pada awal usahanya dengan hak-hak di akhir usahanya.[19]
Kaidah ini juga dipakai pada baitul mal, yang mana membandingkan pendapat dengan biaya-biaya yang keluar untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan. Di dalam anggaran zakat mal, perbandingan terdapat pada jumlah zakat mal dan pihak-pihak yang  berhak menerimanya.
10.   Prinsip Muwa’amah (Keserasian) antara Pernyataan dan Kemaslahatan
Teori akuntansi Islam menganggap perlu untuk menjelaskan hasil-hasil aktivitas ekonomi, begitu juga sentral keuangan untuk kesatuan ekonomi yang ditujukan untuk para pemiliknya dan pihak-pihak yang berkepentingan , karena ini termasuk hak-hak si pemilik modal, si pkerja, dan pihak interatif di dalamnya serta masyarakat Islam.[20]
Berdasarkan keterangan di atas, seorang akuntan muslim harus menjelaskan keterangan-keterangan yang telah dipublikasikan secara wajar, yaitu sesuai dengan kesanggupan  dan situasi serta juga dengan metode yang bisa melindungi kemaslahatan dan tidak memudharatan. Di sisi lain seorang akuntan harus konsisten dengan kejujuran dan amanah dalam memaparkan informasi-informasi akunting, dan menghindari pemalsuan atau merahasiakan sesuatu serta berbuat curang atau pemalsuan karena semua itu bukanlah akhlak seorang muslim.
Di dalam kesatuan ekonomi hendaklah dibandingkan antara statmen informasi di suatu sisi dan kemaslahatan pihak-pihak tertentu di sisi lain, seperti orang yang menanam modal, menanam saham, karyawan atau pekerja, pihak-pihak yang ikut interaksi di dalamnya, serta lembaga-lembaga pemerintahan, yang mana suatu kemaslahatan tidak mungkin menzalimi kemaslahatan yang lain. Tidak ada ukuran yang jelas untuk menentukan tingkat kejelasan yang diperlukan.
E.)  Persamaan dan Perbedaan antara Kaidah Akuntasi Islam dan Kaidah Akuntansi Konvensional
Kita telah tahu bahwa konsep akuntansi Islam itu didasarkan pada kaidah-kaidah pokok yang permanen yang diistinbathkan dari sumber-sumber fiqih Islam. Kaidah-kaidah ini memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari kaidah akuntansi konvensional. Berikut ini perbandingan antara kedua kaidah tersebut secara ringkas.[21]
1.      Segi Persamaan
a.       Prinsip persamaan pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi.
b.      Prinsip hauliah (penahunan) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan.
c.       Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal.
d.      Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya).
e.       Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaaan.
f.       Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
2.      Segi Perbedaan
a.       Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai harga atau harga untuk melindungi modal pokok. Mereka juga belum menentukan (hingga sekarang) apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital atau ra’sul-maal).
b.      Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar). Adapun dalam konsep akuntansi Islam, barang-barang pokok itu dibagi menjadi: harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stok). Harta berupa barangpun dibagi menjadi barang milik dan barang dagang.
c.       Menurut konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang-barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagai sumber harga atau nilai.
d.      Konsep akuntansi konvensional mempraktikkan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam penghitungan, serta menyepelekan laba-laba yang masih bersifat mungkin. Adapun konsep Islam sangat memperhatikan hal-hal itu dengan cara penentuan nilai/harga dengan berdasarkan pada nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan-cadangan untuk kemungkinan-kemungkinan bahaya dan resiko.
e.       Konsep akuntansi konvensional menerapkan prinsip laba universal, yang mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang-uang haram lainnya. Adapun konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) serta transaksi. Juga, wajib menjelaskan pendapatn-pendapatan kotor/haram jika ada dan berusaha menghindarinya serta menyalurkannya pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba ini tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada modal pokok.
f.       Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai tukar, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba dan laba itu tidak boleh dibagi kecuali setelah nyata laba itu diperoleh.
g.      Konsep akuntansi Islam lahir dari masyarakat Islam, ekonomi Islam, teori akuntansi Islam, kemudian Praktek Akuntansi Islam. Sedangkan sistem yang kita alami saat ini adalah sistem dengan struktur masyarakat kapitalis, ideologi kapitalis, ekonomi kapitalis, teori akuntansi kapitalis, praktek Akuntansi kapitalis.[22]
Istilah-istilah Akuntansi Syariah[23]
Akad                     : Pertalian ijab dengan qabul menurut cara-cara yang   disyari’atkan  yang
                                 berpengaruh terhadap objeknya.           
Al-mashnu            : Barang pesanan dalam transaksi itishna.
Al-muslam fihi      : Komoditas yang dikirimkan dalam transaksi salam.
Al-muslam ilaihi   : Penjual dalam transaksi salam.
Al-muslam            : Pembeli dalam transaksi salam
Al-mustashni        : Pembeli akhir dalam transaksi itishna.
Amil                       : Petugas pendistibusian zakat.
A-shan                   : Produsen/supplier dalam transaksi itishna.
Fiisabililla              : Orang yang berjuang di jalan Allah.
Gharim                 : Orang yang berutang dan kesulitan untuk melunasinya.
Halal                      : Sesuatu yang di perbolehkan oleh Islam.
Haul                       : Cukup waktu satu tahun bagi pemilikan harta kekayaan seperti
                                 perniagaan,emas,ternak sebagai batas kewajiban membayar zakat.
Hiwalah                 : Pemindahan atau pengalihan hak dan kewjiban, baik dalam pengalihan 
 piutang  maupun utang,dan jasa pemindahan/pengalihan dan dari satu      entitas.
                                 kepada entitas lainnya.
Ibnusabil               : Orang yang dalam perjalanan
Ijarah                    : Perpindahan kepemilik an jasa dengan imbalan yang sudah disepakati.
  ijarah ini mempunyai 3 (tiga) unsur :
• bentuk yang mencakup penawaran atau persetujuan;
• dua pihak pemilk aset yang disewakan dan pihak yang memanfaatkan
jasa dari aset yang disewakan;
• objek dari akad ijarah,yang mencakup jumlah sewa dan jasa yang Dipindahkan kepada penyewa.
Ijarah Operasianal  : Akad ijarah yang tidak berakhir dengan pemindahan kepemilikan dari asset   yang disewakan kepada penyewa.
Ijarah muntahiyah bittamlik : Akad ijarah yang berakhir dengan opsi berpindahnya   kepemilikan asset yang disewakan kepada penyewa.
Infak                   : Pemberian sesuatu yang akan digunakan untuk kemaslahatan umat.
Istishna               : Kontrak penjualan antara al-mustani (penjual akhir) dan al- shani (pemasok) dimana al-shani berdasarkan suatu pemesanan dari al-mustani-berusaha membuat sendiri atau meminta pihak lain untuk membuat atau membeli al-masnu (pokok) kontrak, menurut spesifikasi yang di syaratkan dan menjualnya kepada al-mustasni dengan harga sesuai dengan kesepakatan serta dengan metode penyelesaian dimuka melalui cicilan atau di tangguhkan sampai suatu waktu di masa depan. Ini merupakan syarat kontrak dari Istishna sehingga Al-shani hars menyediakan bahan baku atau tenaga kerja. Kesepa katan akad istishna mempunyai ciri-ciri yang sama dengan salam karena dia menentukan penjualan produk tidak tersedia pada saat penjualan. Dia juga mempunyai ciri-ciri yang sama dengan penjualan biasa karena harga biasa dibayar secara kredit; tetapi tidak seperti salam,harga pada istishna adalah sama dengan ijarah karena tenga kerja digunakan pada keduanya
Kaafil                  : Pihak yang memberikan jaminan untuk menanggung kewajiban pihak lain dalam akad kafalah.
Kafalah               : Akad peminjaman yang diberikan oleh kaafil (penanggung/bank)kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang di tanggung (makful ‘anhu,ashil)
Ma’jur                : Objek sewa dalam transaksi ijarah.
Makful                : Penerima jaminan dalam akad kafalah.
Muallaf               : Orang yang baru memeluk agama Islam.
Mudhrabah        : Perjanjian kerja sama untuk mencari keuntungan antara pemilik modal dan pengusaha (pengelola dana).Perjanjian tersebut bisa saja terjadi antara deposan (invesment account)sebagai penyedia dana dan bank syariah sebagai mudharib. Bank syariah menjelaskan keiinginannya untuk menerima dana investasi dari sejumlah nasabah, pembagian keuntungan disetujui antara kedua belah pihak sedangkan kerugian di tanggung oleh penyedia dana, asalkan tidak terjadi kesalahan atau pelanggaran syariah yang telah ditetapkan, atau tidak terjadi kelalaian di pihak bank syariah. Kontrak mudharabah dapat juga diadakan antara bank syariah sebagai pemberi modal atas namanya sendiri atau khusus atas nama deposan, pengusaha para pengrajin lainnya termasuk petani,pedagang dan sebagainya. Mudharabah bebeda dengan spekulasi yang berunsur perjudian (gambling) dalam pembelian dan transaksi penjualan.
Kaafil                  : Pihak yang memberikan jaminan untuk menanggung kewajiban pihak lain dalam akad kafalah.
Kafalah               : Akad peminjaman yang diberikan oleh kaafil (penanggung/bank)kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang di tanggung (makful ‘anhu,ashil)
Ma’jur                : Objek sewa dalam transaksi ijarah.
Makful                : Penerima jaminan dalam akad kafalah.
Muallaf               : Orang yang baru memeluk agama Islam.
Mudhrabah             : Penjualan barang dengan margin keuntungan yang disepakati dan penjual memberitahukan biaya perolehan dari barang yang dijual tersebut. Penjualan  murabahah ada dua jenis : (1) bank syariah membeli barang dan menyediakan untuk dijual tanpa janji sebelumnya dari pelanggan untuk membelinya. (2) bank syariah membeli barang yang sudah dipesan oleh pelanggan dari pihak ketiga lalu kemudian menjual barang ini kepada pelanggan yang sama. pada kasus kedua ini bank syariah membeli barang hanya setelah seorang pelanggan membuat janji untuk membayarnya kepada bank.
Musta’jir        : Penyewa dalam transaksi ijarah.
Musahiq         : Penerima zakat, Al quran mengatur bahwa penerima zakat adalah yang
 disebut sebagai 8 (delapan )asnaf (golongan/kelompok)
Musyarakah  : Bentuk kemitraan bank syariah dengan nasabahnya dimana masing-           
                         masing pihak mennyumbangkan pada modal kemitraan dalam
                         jumlah yang sama atau berbeda untuk menyelesaikan suatu proyek atau
                         bagian pada proyek yang sudah ada.
Musyarakah Permanen/tetap : Musyarakah dimana bagian mitra dalam modal                 musyarakah tetap  sepanjang jangka waktu yang di tetapkan dalam akad tersebut.
Musyarakah Menurun : Musyarakah dimana bank memberikan kepada pihak lainnya                  hal untuk membeli bagian sahamnya dalam musyarakah sehingga bagian bank menurun dan kepentingan saham mitra meningkat sampai menjadi pemilik tunggal dari keseluruhan modal.
Muwakil                     : Pemberi kuasa/nasabah dalam transaksi wakalah.
Muzaki                       : Pembayar zakat.
Nisab                             : Batas ukuran minimal,jika harta dan peniagaan seseorang                                 telah melewati batas ini maka zakat terhadap harta dan perniagaan wajib dibayarkan.
Nisbah                          : Rasio/perbandaingan pembagian keuntungan (bagi hasil) antara
 Shahibul maal dan mudharib. Qardhul(pinjaman) penyediaan dana atau tagihan yang dapat di persamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang meminjamkan, yang mewajibkan peminjam dan melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu. Pihak yang meminjam dapat menerima imbalan, namun tidak diperkenakan dipersyaratkan di dalam perjanjian.
Qardhul hasan           : Pinjaman tanpa imbalan yang memungkinkan peminjaman untuk menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu mengemblikan dalam jumlah yang sama pada akhir periode yang di sepakati. jika peminjam mengalami kerugian yang bukan merupakan kelalainnya maka kerugian tersebut dapat mengurangi jumlah pinjaman.
Riba                            : Pengambilan tambahan,baik dalam transaksi jual-beli maupun   Pinjam- meminjam secara bathil atau pertentangan dengan ajaran Islm.
Riqab                : Hamba sahaya
Salam                : Bai’as-salam; jual beli barang dengan cara pemesanan dan                     pembayaran dilakukan di muka, dengan syarat-syarat tertentu.
Salam parallel : Dua transaksi bai’as-salam antara bank dengan nasabah dan antara bank           dengan pemasok atau pihak ketiga lainnya secara simultan.
Shadaqah       : Pemberian sesuatu kepada orang lain dengan mengharap ridho Allah semata.
Shahibul maal : Pemilik dana.
Sharaf                        : Akad jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi valuta asing pada bank syariah hanya dapatdi lakukan untuk tujuan lindung nilai dan tidak diperkenankan untuk tujuan spekulatif.
Taukil             : Tugas.
Ta’zir              : Denda yang harus dibayar akibatpenundaan pengembalian piutang, dana dari denda ini akan dikumpulkan sebagai dana sosial.
Ujrah              : Imbalan.
Urbun             : Jumlah yang di bayar oleh nasabah (pemesan) kepada penjual (yaitu pembeli
mula-mula) pada saat pemesan pembeli sebuah barang dari penjual. Jika nasabah atau pelanggan meneruskan penjualan dan pengambilan barang, maka urbun akan menjadi bagian dari barang.
Wadiah           : Titipan nasabah yang harus dijaga dan di kembalikan setiap saat apa bila nasabah yang bersangkutan menghendaki.bank bertanggung jawab atas
pengembalian titipan tersebut.
Wadiahyad-dhamanah : Titipan yangselama belum di kembalikan kepada penitip dapat
dimanfaatkan oleh penerima titipan.apa bila dari hasil pemanfaatan tersebut diperoleh keuntungan maka seluruhnya menjadi hak penerima penitipan.
Wadiah yad-amanah : Titipan yang selama belum dikembalikan pada penitipan tidak boleh  dimanfaatkan leh penerima titipan sampai barang titipan tersebut diambil  oleh penitip.
Wakala                       : Akad pemberian kuasadan muwakil(pemberi kuasa/nasabah) kepada wakil                                   : (penerima kuasa/bank)untuk melaksanakan suatu taukil(tugas)atas    nama Pemberi kuasa.
Wakil              : Penerima kuasa atau bank.
Zakat              : Secara harifah, zakat berarti keberkahan,penyucian,peningkatan dan
suburnya perbuatan baik. Disebut zakat karena dia memberkahi kekayaan
yang dizakatkan dan melindunginya. Di dalam syariah, zakat merupakan suatu kewajiban mengenai dana yang di bayarkan untuk tujuan khusus dan untuk kategori tertentu oleh Allah Yang Maha Kuasa untuk mereka yang berhak terhadap zakat sebagaimana ditentukan dalam AL QURAN kata zakat juga digunakan untuk menunjukkan jumlah yang dibayarkan dari dana-dana yang terkena kewajiban zaka
t.
1.4  KESIMPULAN
Menurut ulama ushul fiqih, “kaidah” ialah persoalan-persoalan umum yang semua unsurnya mengandung hukum-hukum bagi bagian-bagian persoalan yang banyak. Kaidah-kaidah ini digunakan untuk memahami dan menyimpulkan hukum-hukum syar’i praktis dari dalil-dalil yang terperinci.
Ciri-ciri Akuntasi Syariah:
a.      Keistimewaan dari segi akidah dan akhlak
b.      Keistimewaan karena mengombinasikan antara subjek-subjek yang permanen (tetap) dan yang tathawwur (yang berkembang)
c.       Keistimewaan bentuknya yangg sistematis dan universal 
Kaidah-kaidah Akuntasi Syariah:
1.      Kaidah Independensi jaminan Keuangan (financial)
2.      Kaidah kesinambungan aktivitas
3.      Kaidah Hauliah (pentahunan) Anggaran
4.      Kaidah pembukuan lagsung dan lengkap dengan Tanggal, Bulan dan Tahun.
5.      Kaidah pembukuan yang di serta penjelasan atau penyaksian Objek.
6.      Kaidah Pertambahan Laba dalam Produksi, serta Keberadaannya dalam Jual Beli
7.      Kaidah Penilaian Uang berdasarkan Emas dan Perak
8.      Prinsip Penentuan Nilai atau Harga Berdasarkan Nilai Tukar Rupiah yang Sedang Berlaku
9.      Prinsip Perbandingan dalam Penentu Laba
Istilah-istilah dalam akuntansi syariah meliputi:
Akad, Al-mashnu, Al-muslam fihi, Al-muslam ilaihi, Al-muslam, Al-mustashni, Amil,A-shan, Fiisabililla, Gharim, Halal, Haul, Hiwalah, Ijarah, Infak, Istishna, Kaafil, Kafalah, Ma’jur, Makful, Muallaf, Mudhrabah, Musta’jir, Musahiq, Musyarakah, Musyarakah Permanen/tetap Musyarakah, Muwakil, Muzaki, Nisab, Nisbah, Qardhul hasan, Riba dll.
DAFTAR PUSTAKA
ü  Syahatah, Husein. Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2001.
ü  Blog bu titik Arniati. 14.00.
ü   Syafri Harahap, Sofyan. Akuntansi Islam, Jakarta : Bumi Aksara.2004.
ü   Wahab Khallaf,Abdul. Usul Fiqh Islam. T.tp. Dar al-Kalam. 1980.






























[1] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Usul Fiqh Islam, (Dar al-Kalam, 1980), cet II hlm.13.

[2] Husein Syahatah, Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2001) hlm.65.

[3] Ibid, hlm.64-65.
[4] Ibid, hlm.66.
[5] Ibid.
[6] Loc.cit, hlm.21.
[7] Husein Syahatah, Ibid, hlm.68-71.
[8] Ibid, hlm.73
[9] Ibid, hlm.75
[10] Ibid, hlm.75
[11] Ibid, hlm.76
[12] Ibid, hlm.76
[13] Ibid, hlm.78
[14] Ibid, hlm.60
[15] Ibid, hlm.83
[16] Ibid, hlm. 88.
[17] Ibid, hlm. 90.
[18] Ibid.
[19] Ibid, hlm. 91.
[20] Ibid, hlm. 92.
[21] Ibid, hlm. 93.
[22]  Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2004) hlm 151-152.
[23] Blog Spot Bu Titik Aryanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar