Selasa, 24 April 2012

Pengertian hadist,sunnah,khabar,dan ashar


MAKALAH
PENGERTIAN HADIST, SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR
Diajukan untuk memenuhi  tugas mandiri mata kuliah Ilmu Hadist
Dosen Pembimbing :  Umayyah, M.Ag


15957_1067635268516_1755113621_154997_2922723_n
 








Nama :
-Muhammad Ma’arif
-Sayyidah Qonita Putri
-Muhammad Wahyudi
Kelas: MEPI VI / I


JURUSAN SYARIAH FAKULTAS MEPI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2011

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam merupakan agama yang universal karena dalam ajaran islam melingkupi urusan dunia dan akhirat, ajaran agama islam pertama kali muncul di jazirah arab yang dibawakan oleh seorang tokoh yakni nabi Muhammad SAW. Islam berarti ajaran agama yang dibawakan oleh nabi Muhammad yang Al-Qur’an sebagai sumber hukum utamanya.  Al-Qur’an adalah wahyu Allah di sampaikan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril secara berangsur – angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari terdiri atas 30 juz, 114 surat, yang surat  pertamanya adalah Al-Fatihah dan surat terakhir surat Annas. Dalam mengkaji Al-Qur’an sebagai sumber hukum banyak sekali yang dilakukuan sebagai dasar ilmu pengetahuan diantaranya melalui tafsir, terjemah dan pendalaman Al-Qur’an atau yang biasa di sebut Ulumul Qur’an.
Selain Al-Qur’an Islam juga memiliki sumber hukum yang lain seperti Hadis, Ijma dan Qiyas. Dalam hal ini penulis ingin mengaji ilmu–ilmu hadis dari segi pengertian Hadis, Khabar dan Atsar.
B.     Rumusan Masalah :
1.      Bagaimana pengertian Hadis menurut beberapa pendapat
2.      Bagaimana pengertian Sunnah
3.      Bagaimana pengertian Khabar
4.      Bagaiman pengertian Atsar
5.      Bagaimana persamaan dan perbedaan antara Hadis, Sunnah, Khabar, dan atsar

C.    Hadis
Sumber ajaran islam selain Al-Qur’an tiada lain tentunya adalah hadis, yang merupakan penafsiran al-Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi Muhammad SAW. merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang di tafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang di jabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal diatas tentunya didasarkan pada beberapa argumentasi, berikut beberapa Argumen mengenai hadis :




1.      Menurut Drs. Abubakar Muhammad
Hadis menurut pengertian istilah (definisinya) menurut jumhur ulama yang dikutip dalam buku ‘ikhtisar mustahalul hadits’ bahwa disitu ialah ‘sesuatu yang disandarkan pada nabi saw berupa perkataan atau perbuatan atau takhrirnya dan sebagainya.[1]
           Berdasarkan definisi tersebut kita dapat mengetahui bahwa yang dinamai hadits itu melipiti tiga unsur pokok, yaitu :
a.       Perkataan Nabi Muhammad SAW yang beliau sabdakan
b.      Perbuatan beliau yang dilihat oleh sahabatnya
c.       Perbuataan sahabat yang diketahui oleh Nabi Muhammad SAW yang beliau tidak menegurnya atau beliau tidak menyalahkanya sebagai tanda setuju[2]
Dari tiga unsur diatas kita dapat mengartikan bahwa yang dimaksud hadis ialah segala perilaku yang berupa perkataan, perbuatan yang dilakukan oleh sahabatnya dan beliau tidak menegurnya.
Sehingga hadis memiliki peranan yang sangat penting untuk menjadi pegangan umat muslim di dunia.
2.      Menurut Drs. Rs. Abdul Aziz
Dilihat dari segi bahasanya hadis mempunyai arti yang baru, yang dekat, kabar/warta berita.[3] Sedangkan menurut istilah hadis yaitu segala sesuatu ucapan atau perbuatan nabi Muhammad SAW, segala perbuatan ataupun perilaku-perilaku beliau.[4]
Oleh karena itu hadis mempunyai kedudukan yang sangat penting karena hadis merupakan penuntun manusia dalam berperilaku sehari-hari dalam kehidupannya.
3.      Menurut Drs. M Agus Solahudin M.
Menurut ibnu manzhur, kata “Hadis” berasal dari bahasa Arab yaitu Al-Hadis, jamaknya yaitu al-ahadis, al-hadisan, al-hudsan. Secara etimologis, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya yaitu al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar yang berarti kabar atau berita.[5]
Disamping pengertian tersebut, M.M Azami mendefinisikan bahwa kata “hadis” (arab : Al-hadis) secara etimologi (lughawiyah) berarti “komunikasi”, kisah, “percakapan” religius atau sekuler, historis atau kontemporer.[6]
D.    Sunnah    
Menurut Bahasa, Sunnah berati kebiasaan yang baik atau yang jelek. Menurut batasan Menurut batasan lain dikatakan “jalan (yang dijalani) baik yang terpuji atau tercela, jalan yang lurus atau tuntutan yang tepat/konstan.
Menurut istilah, di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang, persepsi dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW secara garis besarnya mereka terkelompok menjadi 3 golongan, ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqih.
Pengertian menurut ahli hadis, sunnah adalah segala yang bersumber dari nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup baik sebelum menjadi Rasul maupun sesudahnya.
Menurut ahli ushul, sunnah adalah segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW yang berhubungan dengan hukum syara’, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau.
Menurut ahli fiqih, segala ketetapan yang berasal dari Nabi SAW selain yang di fardhukan dan diwajibkan, menurut mereka, sunnah merupakan salah satu hukum yang lima (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah) dan yang tidak termasuk kelima hukum ini adalah bid’ah.
E.     Khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Khabar menurut Muhadditsin adalah warta dari Nabi, Shahabat, dan Tabi’in. oleh karena itu, hadits marfu’, maukuf, dan maktu’ bisa dikatakan sebagai khabar.
Dan menurutnya khabar murodif dengan hadits.
Sebagian ulama berpendapat bahwasannya hadits dari Rosul, sedangkan khabar dari selain Rosul. Dari pendapat ini, orang yang meriwayatkan hadits disebut Muhadditsin dan orang yang meriwayatkan sejarah dan yang lain disebut Akhbari.
Adapun secara terminologi terdapat perbedaan pendapat terkait definisi khabar, yaitu:
  1. Kata khabar sinonim dengan hadits;
  2. Khabar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan seseorang selain Nabi Muhammad. Sedangkan hadits adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad.
  3. Khabar mempunyai arti yang lebih luas dari hadits. Oleh karena itu, setiap hadits dapat disebut juga dengan khabar. Namun, setiap khabar belum tentu dapat disebut dengan hadits.
F.     Atsar
Atsar menurut etimologi, ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, atau berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya.[7] dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu doa umpamanya yang dinukilkan dari nabi dinamai doa matsur.
Para fuqaha memakai perkataan “atsar” untuk perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain.(8 prof dr.tm hasbi ash shiddieqy, sejarah dan pengantar ilmu hadits : 1954 Hal : 32)
Atsar menurut bahasa adalah sisa dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah ada dua pendapat :
  • Ada yang mengatakan bahwa atsar itu sama dengan hadits, makna keduanya adalah sama.
  • Ada yang berpendapat bahwa atsar berbeda dengan hadits, yaitu apa yang disandarkan kepada shahabat dan tabi’in, baik berupa perkataan dan perbuatan mereka.

G.    Persamaan Dan Perbedaan Antara Hadis, Sunnah, Khabar, dan atsar
Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
a)      Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
b)      Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. “Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar”.
c)      Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi’in. “Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits marfu)”. Dengan demikian, Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi’in.
H.    Kesimpulan
Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”, sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuataan, maupun ketetapannya.”
Sunnnah menurut bahasa, sunnah adalah “Kebiasaan dan jalan (cara) yang baik dan yang jelek.” Menurut batasan lain, sunnah berarti “Jalan (yang dilalui) baik yang terpuji atau yang tercela ataupun jalan yang lurus atau tuntutan yang tetap (konsisten).”
Dan ahli fiqih mengartikan sunnah sebagai “Segala ketetapan yang berasal dari Nabi selain yang difardhukan dan diwajibkan.” Menurut mereka, “Sunnah merupakan salah satu hukum yang lima (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah), dan yang tidak termasuk kelima hukum ini disebut bid’ah.”
Khabar menurut bahasa adalah “Semua berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.” Menurut ahli hadits, khabar sama dengan hadits. Keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu’, mauquf, dan maqthu’, dan mencakup segala sesuatu yang datang dari Nabi, sahabat, dan tabi’in. Adapun atsar berdasarkan bahasa sama pula dengan khabar, hadits, dan sunnah. Adapun pengertian atsar menurut istilah terdapat di antara para ulama.(9 (Drs. H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir. Ulumul Hadits untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK hal 52)
Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. “Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu.















DAFTAR PUSTAKA
1.      Muhammad, Drs. Abu Bakar. Hadist Tarbiyah. PT. Al-Ikhlas, Surabaya : 1995
2.      Solahudin. Drs. M. Agus, dkk. Ulumul Hadis. PT. Pustaka Setia. Bandung. 2009
3.      Aziz, Drs. Rs. Abdul Hadist, Ilmu Hadist. PT. Wicaksana. Semarang. 1989 / 1990
4.      Ash-Shiddieqy, Prof. Dr. T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. PT Bulan Bintang, Jakarta :1954
5.      Ahmad, Drs. H. Muhamma&Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadits untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK. Bandung: Pustaka Setia 1997.



[1] Drs. Fathur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadist. PT. Al-Ma’arif, Bandung. 1970 Hal. 6
[2] Ibid, Hal. 25
[3] Drs. Rs. Abdul Aziz, Hadist Ilmu Hadist. PT. Wicaksara, Semarang. 1988. Hal : 7
[4] Ibid
[5] Muhammad Ibn Mukaram , Ibn Manzhur, Lisan Al-Arab. Juz II : 1992. Hal : 131
[6] M. M. Azami, Studies in Hadist Methodology and literatur Terj. Meth Krelaha. Jakarta:Lentera. 2003. Hal 21-23
[7] Al-Sayyid Muhammad Ibn ‘alawi al-maliki al-hasani, al-manhal, al-latif fi ushul al-hadits al syarif, hlm :51

Senin, 23 April 2012

kelompok 5 konsep dasar akuntansi syariah

kelompok 5
MAKALAH 
KONSEP DASAR AKUNTANSI SYARIAH
Diajukan untuk memenuhi  tugas kelompok mata kuliah Akuntansi Syariah
15957_1067635268516_1755113621_154997_2922723_n




Nama :
Muhammad Taufiqi
Siti Sa’adah
Sayyidah Qonita Putri

Kelas: MEPI VI / II

JURUSAN SYARIAH FAKULTAS MEPI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2012









PENDAHULUAN
Akuntansi Syariah merupakan ilmu yang tergolong masih baru di kalangan masyarakat. Karena akuntansi yang sering dikenal oleh kebanyakan orang adalah akuntansi konvensional. Pada dasarnya sistem akuntansi itu sama, yaitu pencatatan atau pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui orang, terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi” yang disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Mungkin setelah mendengar Akuntansi Syariah, orang merasa aneh dan berfikir apakah ada Akuntansi Syariah itu?.
Ternyata kalau kita lihat dari sejarah peradaban Islam disitu akan terdapat sejarah perkembangan ilmu. Ilmu ini telah dipraktikkan oleh Rasulullah sendiri. Setiap melakukan sebuah transaksi, Rasulullah selalu mencatatnya. Tentang landasan hukum muamalah telah di jelaskan oleh Allah dalam surat Al-Baqarah:282 dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang transaksi dan pencatatan.
Akuntansi Syariah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari trilogi iman (faith), ilmu (knowledge) dan amal (action). Artinya, wujud keberanian seseorang harus diekspresikan dalam bentuk perbuatan (amal atau aksi). Di mana perbuatan tadi harus didasari dan dituntun oleh ilmu.
Dalam konsep dasar Akuntansi Syariah akan dibahas pula teori-teori akuntansi syariah. Yang mana didalamnya terdapat perbedaan-perbedaan antara teori Akuntansi Syariah dan akuntansi modern.






Konsep Dasar Akuntansi Syariah
Akuntansi sebenarnya merupakan domain “muamalah” dalam kajian Islam. Artinya diserahkan kepada kemampuan akal pikiran manusia untuk mengembangkannya. Namun karena pentingya permasalahan ini maka Allah SWT bahkan memberikannya tempat dalam kitab suci Al-Qur’an, Al-Baqarah ayat 282.[1] Ayat ini sebagai lambang komoditi ekonomi yang mempunyai sifat akuntansi yang dapat dianalogkan dengan “double entry”,  dan menggambarkan angka keseimbangan atau neraca.
Karena akuntansi ini sifatnya muamalah maka pengembangannya diserahkan pada kebijaksanaan manusia. Sedangkan Al-Qur’an dan Sunnah hanya membekalinya dengan beberapa sistem nilai seperti landasan etika, moral, kebenaran, dan sebgainya.
Dalam surat Al-Baqarah Islam mewajibkan untuk melakukan pencatatan:
1.      Menjadi bukti dilakukannya transaksi.
2.      Menjaga agar tidak terjadi manipulasi.
Penekanan ini didukung lagi oleh ratusan ayat yang dapat dijadikan sumber moral akuntansi seperti berlaku adil, jujur, bertakwa dan lain sebagainya. Peritah Al-Qur’an yang telah disebutkan di atas perlu dioperasinalkan dalam bentuk aksi atau praktik. Sehingga perintah A-Qur’an dapat membumi dalam masyarakat. Karena selama ini masyarakat Muslim sebagian besar hanya memahami agama saja namun tidak pernah mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. 
Dalam Al-Qur’an sudah terdapat teori tentang Akuntansi, sedangkan untuk  praktiknya diserahkan sepenuhnya kepada umatnya untuk merumuskannya sesuai dengan kebutuhannya.
Konsep Dasar Teori Akuntansi Syariah
            Konsep dasar merupakan wujud atau kerangka dasar yang akan memengaruhi bentuk teori, cara memandang, dan cara mempraktikan akuntansi dalam dalam dunia ekonomi-bisnis. Mirip dengan pandangan Kerlinger (1964, 11) yang medefinisikan akuntansi sebagai seperangkat konstruk yang saling terkait (konsep), definisi, dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis dari fenomena dengan menetapkan hubungan antara variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena.
            Sedangkan Hendriksen dan Van Breda (1992, 21) mengatakan bahwa teori akuntansi itu adalah seperangkat hipotesis, konseptual, prinsip-prinsip pragmatis membentuk kerangka acuan umum untuk menyelidiki sifat akuntansi. Adapun tujuan utama dari teori akuntansi ini adalah satu set prinsip yang diturunkan secara logis untuk dijadikan sebagai referensi dalam menilai dan memgembangkan praktik akuntansi.[2] 
            Untuk penetapan konsep dasar teori akuntansi syariah didasarkan pada prinsip filosofis. Sedangkan prinsip filosofis secara implisit diturunkan dari konsep faith, knowledge dan action yang berasal dari nilai-nilai tauhid. Agar lebih jelas lihat sruktur di bawah ini.

            Dari prinsip filosofi humanis terdapat konsep dasar intrumental dan socio-economic. Konsep dasar intrumental ini diperoleh dengan dasar pemikiran bahwa Akuntansi Syariah merupakan instrumen yang dapat dipraktikkan di dalam dunia nyata. Dengan demikian instrumen ini mempunyai hubungan dengan nilai-nilai masyarakat yang membangun dan mempraktikannya. Sedangkan konsep dasar socio-economic mengindikasikan bahwa teori Akuntansi Syariah tidak membatasi wacana yang dimilikinya pada transaksi-transaksi ekonomi saja, tetapi juga mencakup “transaksi-transaksi sosial”. Dalam transaksi sosial ini meliputi transaksi mental dan spiritual dari sumber daya yang dimiliki oleh entitas bisnis.
            Selanjutnya dalam prinsip filosofis terdapat emansipatoris, adapun konsep dasar dari emansipatoris diantaranya konsep dasar critical dan konsep dasar justice. Konsep dasar critical memberikan dasar pemikiran bahwa konstruksi teori akuntansi syariah tidak bersifat dogmatis dan eksklusif. Konsep ini harus diterapkan pada akuntansi, karena sifat kritis sagat diperlukan dalam akuntansi, agar kita bisa menilai secara rasional kelemahan dan kelebihan akuntansi modern. Dalam akuntansi juga terdapat konsep dasar justice, guna untuk aspek-aspek penting dalam akuntansi yang didudukan secara adil.
            Kemudian dalam prinsip filosofis transendental terdapat konsep dasar all-inclusive dan rational-intuitive. Konsep dasar all-inclusive memberikan dasar pemikiran bahwa kontruksi teori Akuntansi Syariah bersifat terbuka.[3] Dalam hal ini berarti akuntansi syariah ada kemungkinan menggunakan konsep dari akuntansi modern, namun yang digunakan hanya konsep selaras dengan nilai-nilai akuntansi Islam.
            Konsep dasar rational-intuitive mengindikasikan bahwa secara epistemologi, kontruksi teori Akuntansi Syariah memadukan kekuatan rasional dan intuisi manusia.[4] Pada konsep ini berbeda dengan konsep teori modern, karena konsep teori modern lebih mengutamakan rasio dari pada intuisi dalam proses teorinya. Sedangkan dalam konstruksi teori Akuntansi Syariah intuisi merupakan instrumen yang sangat penting dan memiliki kekuatan dalam melakukan perubahan-perubahan signifikan dalam masyarakat, kemudian hal ini juga disinergikan  dengan instrumen raional manusia.
            Selanjutnya dari prinsip filosofis teleologikal terdapat konsep dasar ethical dan holostic welfare. Ethical merupakan konsep dasar yang dihasilkan dari konsekuensi logis keinginan kembali ke Tuhan dalam keadaan tetang dan suci.[5] Karena Akuntansi Syariah dibangun bedasarkan nilai-nilai etika Islam maka konsekuensi disini pada penggunaan nilai-nili etika Islamnya dalam kontruksi Akuntansi Syariah yang berupa kesejahteraan pada Akuntansi Syariah bukan hanya pada kesjahteraan materi saja namun pada kesejahteraan non-materi atau bisa disebut juga dengan kesejahteraan yang utuh (holistic welfare).
            Konsep-konsep dasar akuntansi syariah ini akan menghasilkan bentuk teori akuntansi yang berbeda dengan akuntansi modern, begitu juga dengan bentuk praktiknya karena tedapat prinsip-prinsip yang berbeda antara Akuntansi Syariah dengan akuntansi modern.
Konsep Dasar Akuntansi
Konsep dasar disebut juga asumsi adalah aksioma atau pernyataan yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya karena secara umum telah diterima kesesuaiannya dengan tujuan laporan keuangan, dan menggambarkan lingkungan ekonomi, politik, sosial dan hukum dimana akuntansi beroperasi.dimana diturunkan dari tujuan laporan keuangan berfungsi sebagai fondasi bagi prinsip-prinsip akuntansi. Tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah adalah untuk memberikan pertanggungjawaban dan informasi. Menurut Belkoui yang dikutip oleh Rosjidi, konsep dasar akuntansi adalah entitas akuntansi, kesinambungan, unit pengukuran dan periode akuntansi, yang masing-masing konsep dibahas di bawah ini :[6]
1.      Entitas Bisnis (Business Entity / al-Widah al Iqtishadiyah)
Entitas atau kesatuan bisnis adalah perusahaan dianggap sebagai entitas ekonomi dan hukum terpisah dari pihak-pihak yang berkepentingan atau para pemiliknya secara pribadi. Syahatah menyebutkan sebagai kaidah indepedensi jaminan keuangan. Oleh karena itu seluruh transaksi hanya berhubungan dengan entitas perusahaan yang membatasi kepentingan para pemiliknya.
2.      Kesinambungan (going concern)
Berdasarkan konsep ini, suatu entitas dianggap akan berjalan terus, apabila tidak terdapat bukti sebaliknya. Ini didasarkan pada pengertian bahwa kehidupan ini juga berkesinambungan. Manusia memang akan fana, tapi Allah akan mewariskan semua yang ada di ala mini. Maka, seorang muslim yakin bahwa anak-anaknya dan saudara-saudaranya akan meneruskan aktivitas itu setelah dia meninggal. Mereka juga yakin harta yang diperoleh dari aktivitas kerjanya itu milik Allah, seperti firman ALLAH
                  ” Berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, dan nafkahkanlah sebgian harta kamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya..”.
dan juga sabda Rosulullah :
’’Allah menyayangi orang yang mencari nafkah yang baik dan menafkahkan secara sederhana serta menabung sisanya untuk persiapan pada hari ia membutuhkan dan pada hari fakirnya. Ali bin abi tholib juga pernah berkata, Berusahalah untuk duniamu seolah-olah kamu akanhidup selama-lamanya, dan berusahalah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok hari. Pengaplikasian kaidah ini adalah untuk penentuan dan penghitungan laba serta menghitung harga-harga sisa suplay untuk tujuan penghitungan zakat harta. Dari sini dapat dipahami bahwa penghitungan zakat itu berdasarkan kesinambungan (kontinuitas) sebuah perusahaan dan bukan berdasar penutupan atau liquidasi suatu perusahaan.
3.      Stabilitas Daya Beli Unit Moneter (The Stability of the Purchasing Power of the Monetery Unit)
Postulat ini merupakan term yang dgunakn oleh Adnan dan Gaffikin terhadap suatu term yang biaanya disebut “unit pengukuran (unit ofmeasure) atau ”unit moneter (monetary unit) seperti digunkan oleh beberapa penulis buku. Postulat ini menunjukkan pentingnya menilai aktivitas-aktivitas ekonomi dan mengsahkannya atau menegaskannya dalam surat-surat berdasarkan kesatuan moneter, dengan memposisikannya sebagai nilai terhadap barang-barang, serta ukuran untuk penentuan harga dan skaligus sebagai pusat harga.
Mempertimbangkan bahwa uang yang biasa dipahami dalam akuntansi konvensional- uang kertasdan logam-, rentan terhadap ketidakstabilan, mka satuan moneter yang memenuhi syarat postulat ini adalah mata uang emas dan perak. Mata uang emas dan perak tidak mengenal dikotomi nilai nominal dan nilai intrinsik, nili uang emas dan perak adalah senilai emas dan peraknya. Hal inilah yang menyebabkan uang emas dan perak resistan terhadap efek inflasi. Pada zaman Rasulullah saw., satu dirham (uang perak) senilai seekor ayam, satu dinar adalah nilai tukar seekor kambing dewasa, harga ini berlaku sampai sekarang. Mempertimbangkan kompleksitas lingkungan bisnis masa sekarang, pengaplikasiannya menjadi satu hal yang tidak dapat diterapkan sepenuhnya. Dlam suatu Negara yng tidak menggunakan mata uang emas dan perak, postulat ini jelas tidak dapat dipenuhi. Beberapa pakar akuntansi menjadikan ini sebagai rukhsah (keringanan) sebagai suatukondisi darurat untuk dapat menggunakan standar nilai uang sebagai unit pengukuran, selama belum ada solusi yang mampu mengatasinya. Namun demikian, penulis berharap akan ada usaha menuju perbaikan kearah penerapan standar emaas dan perak ini secara bertahap.
4.      Periode Akuntansi.
Dalam Islam, ada hubungan erat antara kewajiban membayar zakat dengan dengan dasar periode akuntansi (haul). Hal ini sehubungan dengan sabda Rasulullah saw., “Tidak wajib zakat pada suatu harta kecuali telah sampai haulnya.” Berdasarkan hadis ini, setiap Muslim secara otomatis diperintahkan untuk menghitung kekayaannya setiap tahun untuk menentukan besarnya zakat yang harus ia bayarkan. Mengenai waktu pembayarannya, bila menggunakan kalender Hijriyah maka awal tahun penghitungan zakat adalah bulan Muharram. Adapun bila menggunakan kalender Masehi, awal tahun adalah bulan Januari.
Muhammad Akram Khan (Harahap, 1992) merumuskan sifat akuntansi islam sebagai berikut :
1.      Penentuan Laba Rugi yang Tepat
Walaupun penentuan laba rugi agak bersifat subjetif dan bergantung nilai, kehati-hatian harus dilaksanakan agar tercapai hasil yang bijaksana (atau dalam islam sesuai dengan syariah) dan konsisten sehingga dapat menjamin bahwa kepentingan semua pihak pemakai laporan dilindungi
2.      Mempromosikan dan Menilai Efisiensi Kepemimpinan
Sistem akuntansi harus memberikan standar berdasarkan hukum sejarah untuk menjamin bahwa manajemen mengikuti kebijaksanaan-kebijaksanaan yang baik.
3.      Ketaatan kepada Hukum Syariah
Setiap aktivitas yang dilakukan oleh unit ekonomi harus dinilai halal haramnya. Faktor ekonomi tidak harus menjadi alasan tunggal untuk menentukan berlanjut tidaknya suatu organisasi.
4.      Keterikatan pada Keadilan
Karena tujuan utama dari syariah adalah penerapan keadilan dalam masayarakat seluruhnya, informasi akuntan harus mampu melaporkan (selanjutnya mencegah) setiap kegiatan atau keputusan  yang dibuat untuk menambah ketidakadilan dalam masyarakat.


5.      Melaporkan dengan Baik
Telah disepakati bahwa peranan perusahaan dianggap dari pandangan yang lebih luas (pada dasarnya bertanggung jawab pada masyarakat secara keseluruhan). Nilai sosial ekonomi dari ekonomi isalm harus diikuti dan dianjurkan. Informasi akuntansi harus berada dalam posisi yang terbaik untuk melaporkan hal ini.
6.      Perbahan dalam Praktek Akuntansi
Perana akuntansi yang demikian luas dalam kerangka islam memerlukan perubahan yang sesuai dan cepat dalam praktek akuntansi sekarang. Akuntansi mapu bekerjasama untuk menyusun saran-saran yang tepat untuk mengikuti perubahan ini.[7]
























KESIMPULAN
Akuntansi merupakan domain “muamalah” dalam kajian Islam. Artinya diserahkan kepada kemampuan akal pikiran manusia untuk mengembangkannya. Namun karena pentingya permasalahan ini maka Allah SWT bahkan memberikannya tempat dalam kitab suci Al-Qur’an, Al-Baqarah ayat 282. Ayat ini sebagai lambang komoditi ekonomi yang mempunyai sifat akuntansi yang dapat dianalogkan dengan “double entry”,  dan menggambarkan angka keseimbangan atau neraca.
            Karena akuntansi ini sifatnya muamalah maka pengembangannya diserahkan pada kebijaksanaan manusia. Sedangkan Al-Qur’an dan Sunnah hanya membekalinya dengan beberapa sistem nilai seperti landasan etika, moral, kebenaran, dan sebgainya. Jadi, untuk penetapan konsep dasar teori akuntansi syariah didasarkan pada prinsip filosofis. Sedangkan prinsip filosofis secara implisit diturunkan dari konsep faith, knowledge dan action yang berasal dari nilai-nilai tauhid.
Dalam surat Al-Baqarah Islam mewajibkan untuk melakukan pencatatan:
1.      Menjadi bukti dilakukannya transaksi.
2.      Menjaga agar tidak terjadi manipulasi.
      











DAFTAR PUSTAKA
Triyuwono, Iwan. 2009. Perspektif, Metodologi dan Teori Akuntansi Syariah, Jakrata: Rajawali  Pers

Harahap, Sofyan Syafri. 2004. Akuntansi Islam. Jakarta : Bumi Aksara
http://mrcomp.wordpress.com/2009/02/24/konsep-dasar-akuntansi-syariah/





[1] Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004)

[2] Iwan Triyuwono, Perspektif, Metodologi dan Teori Akuntansi Syariah, (Jakrata: Rajawali Pers, 2009) hlm. 322.
[3] Ibid, hlm. 324.
[4] Ibid.
[5] Ibid, hlm. 325
[6] http://mrcomp.wordpress.com/2009/02/24/konsep-dasar-akuntansi-syariah/

[7] Sofyan Syafri Harahap, Op.cit, hlm : 145-146